BAB 3 : AGRESI

1.9K 183 85
                                    

Menjelang dini hari, latihan itu baru usai. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Sarip, tampak begitu kelelahan. Ya, malam ini, Sarip benar-benar menggembleng anak buahnya agar siap menghadapi peperangan esok malam.

"Baiklah, cukup sampai di sini latihan kali ini. Kalian butuh istirahat untuk mempersiapkan fisik dan mental kalian. Ingat, besok setelah isya, kita berkumpul di Krocok," ujar Sarip dengan tegas.

"Siap laksanakan!" sahut anak buah Sarip serempak.

Satu per satu dari mereka mulai membuyarkan diri. Hanya tinggal beberapa orang saja yang memutuskan untuk menjaga markas. Markas itu bukanlah bangunan megah seperti layaknya milik orang-orang Belanda. Itu hanya berupa gubuk kecil yang tersembunyi. Tempat para pejuang gerilya berkumpul untuk merencanakan sebuah penyerangan. Letaknya yang tak begitu jauh dari tempat latihan para pejuang, membuat markas itu dijadikan tempat beristirahat bagi mereka yang tak punya tempat tinggal.

Dulu, Sarip selalu menjadi penjaga markas. Bahkan tak jarang ia harus sering berganti-ganti tempat agar persembunyian kelompoknya tak diketahui pasukan Belanda. Namun sejak ia memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, ia menunjuk beberapa anak buahnya untuk menggantikan tugasnya menjaga markas. Sarip tak tahan hanya berdiam diri saja di markas saat banyak kawannya yang hilang tanpa kabar. Meskipun Sarip tahu, risiko kemunculannya dapat membahayakan dirinya bahkan kelompoknya.

“Apa persediaan makanan masih ada?” tanya Sarip pada tiga orang kawannya yang berjaga di markas.

“Masih cukup, Mas. Tadi Anwar baru saja memberikan setengah karung ubi jalar hasil panenan orangtuanya,” sahut kawan Sarip.

“Ingat, tugas kalian adalah memastikan keamanan tempat ini. Kuharap tak ada dari kalian yang meninggalkan tempat ini di waktu matahari masih bersinar. Untuk urusan logistik, aku sudah menunjuk yang lainnya. Jika ada sesuatu yang menurut kalian janggal di tempat ini, segera kosongkan. Karena musuh saat ini sedang melakukan penangkapan besar-besaran. Aku tak ingin kalian tertangkap. Mengerti?”

“Siap, mengerti!”

“Baiklah kalau begitu, saya mohon diri dulu. Subuh nanti saya harus sudah ada di ladang tembakau. Mandor-mandor kompeni itu mulai mencurigai buruh-buruhnya. Selamat malam.”

“Selamat malam Mas Sarip.”

Setelah berpamitan, Sarip meninggalkan markasnya untuk kembali pulang. Tak lama kemudian, seorang pemuda menyusul langkah Sarip.

"Mas, saya pulang sama sampean ya?" ucap pemuda berambut keriting pendek itu.

“Kau belum pulang, Anwar?” tanya Sarip heran.

“Belum, Mas. Barusan selesai mengemasi takiari.”

Sarip membalas pemuda itu hanya dengan senyuman tipis disertai anggukan, kemudian mereka pun berjalan beriringan menembus kelamnya hutan.

“Mas Sarip, sejak kapan sampean mendapat luka itu?” Sebuah pertanyaan dilontarkan Anwar, hingga memecah keheningan di antara mereka.

“Luka mana yang kau maksudkan?” Meski Sarip tahu arah pembicaraan anak itu, ia berpura-pura menanyakannya kembali.

“Kaki sampean, Mas. Apa benar luka tembak yang menyebabkan kaki sampean pincang?” Selama ini memang Sarip berusaha menyembunyikan kakinya yang tak seimbang. Walaupun ia harus menahan nyeri terutama jika hawa dingin mulai menusuk sendinya.

"Anwar, mengapa kau tak tinggal di rumah saja bersama saudaramu? Peperangan seperti ini tak akan pernah menguntungkanmu, Cong. Harusnya kau belajar saja di bangku sekolah, bukan ikut berperang," kata Sarip mengalihkan arah pembicaraan mereka.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang