BAB 11 : PULANG

656 62 21
                                    

Mimpikah aku? Dia Kopral Dayat?
Pantas saja aku merasa mengenal dia.

Sameera menuntun ontelnya dengan perlahan. Semilir angin sejuk menerpa setelan panjangnya yang amat lusuh, tak lagi berwarna putih. Senyum semringah mengembang di bibir tipis merah jambunya. Berat rasanya meninggalkan jalan di depan gang masuk rumahnya. Berulang kali dia menoleh ke belakang, tetapi orang yang ingin ia perhatikan telah lenyap.

Masih tak percaya, begitulah akal sehat Sameera menolak kenyataan di depan matanya. Kopral Dayat yang ia kenal begitu berbeda dengan pria yang memboncengnya. Namun hatinya terasa aneh setiap dekat dengan pria bernama Sarip itu. Rasa yang sama ketika Sameera pertama kali bertemu dengan Kopral Dayat. Peristiwa itu tak akan pernah terhapus dalam benak Sameera. Saat pertama kali ia menolong Kopral Dayat dalam agresi militer Juli lalu.

***

Sameera baru beberapa hari tiba di kota Bondowoso, setelah ia memutuskan untuk mengakhiri pendidikannya di Surabaya. Ia pun berniat mengunjungi Lastri—kawan lama Sameera. Tak disangka, Lastri telah menikah. Sameera diperkenalkan dengan suami Lastri—Rahardjo—yang merupakan anggota PMI di Bondowoso. Rahardjo pun langsung meminta Sameera untuk bergabung dalam keanggotaan PMI, sebab mereka butuh banyak relawan.

Selang dua hari sejak Sameera bergabung menjadi anggota PMI, meletuslah agresi militer di kotanya. Ia langsung diperbantukan untuk menolong para pejuang. Itu adalah kali pertama Sameera terjun langsung di medan perang. Selama ini, ia hanya menangani orang-orang yang terluka di markas PMI Surabaya. Hatinya begitu miris melihat banyak korban berjatuhan di pihak pribumi. Pikiran buruknya terus berkecamuk membayangkan nasib bapaknya yang juga merupakan seorang pejuang. Kelompok Sameera pun segera bergegas mengungsikan para korban ke tempat yang aman. Stasiun Bondowosolah tujuan mereka.
Saat itu, Sameera baru saja selesai membebat luka salah satu pejuang, ketika ia tanpa sengaja menangkap sesosok pria berjalan tertatih, bertopang pada senapan laras panjangnya menuju pintu masuk stasiun. Tanpa sadar, nurani Sameera tergerak untuk menghampiri pria yang sedang bersandar di daun pintu stasiun dan menghadap ke jalanan.

Dari belakang tubuh pria berseragam coklat muda itu, Sameera mendengar rintih kesakitan. Ia pun melihat darah merembes membasahi celana kiri lelaki itu. Sameera langsung menepuk lembut pundaknya dan menawarkan bantuan.

Sameera yang sudah terbiasa menangani hal seperti ini, harusnya tak merasa canggung. Akan tetapi, tangannya bergetar hebat. Ia tanpa sengaja bertemu pandang dengan tatapan hangat pria yang ditolongnya. Tatapan itu tak hanya membuat tangannya gemetar, tapi juga menggetarkan jiwanya. Bahkan hingga kini, jiwanya masih saja bergetar jika mengingat kejadian itu.

"Benar, tatapan itu. Tatapan yang sama. Jadi, itu alasan mengapa dia tahu nama lengkapku?" gumam Sameera pada dirinya sendiri.

Kini akal sehatnya telah berbalik arah. Ia tak percaya bahwa ia dipertemukan kembali dengan pria yang pertama kali membuat getaran di hatinya. Meski usia Sameera hampir menginjak 20 tahun, ia tak pernah merasakan hal seperti ini. Aneh memang. Namun inilah yang terjadi. Sameera diam-diam mengagumi sosok Kopral Dayat yang hanya dikenalnya dalam hitungan jam saja.

Akhirnya sampai juga Sameera di depan halaman rumahnya. Rumah kayu itu baru ditempatinya selama 5 tahun. Itu pun dua tahun terakhir, ia habiskan waktunya di Surabaya. Sedasawarsa pertama dalam kehidupannya, Sameera tinggal di kampung halaman ibunya di Gunung Kidul. Namun sejak sering terjadinya pertengkaran antara ibu dan mbahnya, bapak Sameera mengajak Sameera dan ibunya pindah, mengikuti ke mana pun bapaknya bertugas. Sameera diberitahu orang-orang di kampungnya, jika mbahnya tak pernah suka pada Bapak Sameera, bahkan sudah sejak lama Ibu Sameera disuruh bercerai dengan suaminya.

Di ambang pintu, Sameera mendapati seorang wanita paruh baya bersanggul dan berkebaya hijau muda sedang berdiri menatapnya. Matanya sayu. Namun secercah senyum mulai mengembang di wajah bulat telurnya. Wanita itu pun langsung berlari menghampiri Sameera.

"Dari mana saja kamu, Nduk?" tanya wanita itu penuh kecemasan seraya mendekap tubuh Sameera. "Ayo cepat masuk!"

"Iya, Bu." Sameera segera memarkir ontelnya di sebelah rumahnya dan segera masuk rumah. Perasaan Sameera benar-benar tak enak. Setelah ini, pasti bapaknya akan memarahinya habis-habisan.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang