BAB 18 : SURAT PERTAMA

500 44 1
                                    

Assalamualaikum

Maaf jika aku lancang mengirimkan surat ini padamu. Semenjak kau menceritakan risalahmu, pikiranku tak pernah tenang. Aku berusaha mencari tahu semua hal yang berhubungan dengan bapakmu. Dan ... ada hal penting yang harus kukatakan padamu. Kau harus tahu tentang ini. Sebenarnya, ingin sekali aku datang ke tempatmu. Namun aku takut, jika kau memperoleh murka dari bapakmu. Jujur, aku mengkhawatirkanmu. Andai saja kau tak keberatan, aku ingin bertemu denganmu. Jika kau baca surat ini, kupastikan akan menunggumu di bukit purnama selepas asar esok hari. Namun apabila kau keberatan, jangan kau hiraukan surat ini. Sekali lagi, maafkan kelancanganku ini.

Begitu semringah Sameera membaca surat tersebut. Perasaannya serasa melambung ke cakrawala. Ia tak menyangka jika masih ada seseorang yang begitu memperhatikan keadaannya. Meski kini Sameera mulai berpikir bagaimana caranya ia bisa menemui sang penulis surat dalam keadaannya seperti ini.

Sejak kaburnya Sameera beberapa hari lalu, bapaknya semakin keras saja terhadap Sameera. Setiap kali ada bapaknya, rumah selalu terkunci rapat. Tak boleh ada seorang pun yang keluar untuk urusan apa pun, karena semua kunci dibawa oleh bapak Sameera. Ketika malam bapaknya keluar, kunci pun dibawa serta bersamanya.

Sameera pun tak pernah bertutur sapa dengan bapaknya. Ia tak mau kena murka bapaknya lagi. Apalagi sejak ia mendapat sebuah tamparan keras yang seumur hidupnya tak pernah ia rasakan. Setiap kali ia bercermin, hatinya begitu hancur melihat bekas tamparan bapaknya yang masih menjejak di pipinya.

Iblis mana yang membuat bapak seperti ini? pikir Sameera dalam hati sambil mengelus pipinya.

Ingin sekali ia kabur dari rumah. Akan tetapi ia benar-benar takut pada bapaknya. Di sisi lain, ia butuh seseorang yang bisa mengerti dirinya. Mendengar keluh kesahnya. Ibunya, yang harusnya sangat tahu akan perubahan bapaknya justru seolah membela bapaknya. Sameera kini terpuruk dalam kesendirian.

Namun, pagi tadi kala fajar belum menyingsing, sebuah pengharapan datang bersama ketukan lirih di jendela kamar Sameera. Ragu-ragu Sameera membuka daun jendela kayunya yang setinggi leher Sameera. Dari sorot cahaya lampu semprong di dinding kamar Sameera, gadis itu melihat sosok lelaki berpeci yang dikenalnya. Tangan pria itu terulur melewati teralis kayu dan ... secarik kertas diberikan pada Sameera.

"Ini dari Sarip, Mbak. Maaf saya tak bisa lama."

"Mas Nurdin?"

"Saya pergi dulu. Saya harap sampean bisa memenuhi permintaan Sarip, Mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lelaki berselempang sarung tersebut menghilang begitu cepat dari pandangan mata Sameera. Sepucuk surat dari Sarip telah membangunkan Sameera dari rasa nelangsanya. Ia amat menaruh harap pada Sarip sebagai tempat berkeluh kesah. Dengan surat yang digenggamnya, keinginan untuk bertemu laki-laki itu semakin menggebu. Sameera benar-benar tak sabar menanti hari esok.

Apa yang ingin disampaikan Mas Sarip? Begitu pentingkah hal itu? Semoga saja bukan sesuatu yang buruk.

***

Azan asar telah berlalu, tapi Sameera masih gelisah di dalam kamarnya. Sesekali ia mengintip ke luar kamar, berharap bapaknya berada di halaman belakang. Naas, bapaknya masih mondar-mandir di ruang depan. Padahal Sameera telah berencana untuk kabur lewat jendela di ruangan depan yang cukup untuk tubuh Sameera.

Ia pun terduduk lemas di balik pintu kamar. Ia benar-benar tak ingin mengecewakan Sarip, tapi apalah dayanya sebagai gadis lemah yang kini sedang dalam masa pingitan? Dalam diamnya, ia mendengar bapaknya sedang beradu mulut dengan ibunya. Dibukanya pintu kamar lalu dengan berjingkat, Sameera melihat orangtuanya berada di dapur. Ruang depan sedang kosong. Ia membulatkan tekad untuk sekali lagi kabur dari rumah. Sameera segera menggeser kursi sebagai pijakannya untuk melompat jendela.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang