BAB 25 : PINDAH PAKSA

344 36 2
                                    

Seberkas sinar pun belum tampak memasuki celah jendela kaca penjara. Hawa dingin masih mencekam. Namun teriakan-teriakan bengis para penjaga rumah tahanan ini, membuat suasana dini hari menjadi lebih pilu.

"Apa ada tawanan baru?" Sarip yang meringkuk di pojok berusaha menggeser duduknya.

"Entahlah. Kompeni-kompeni itu menggiring beberapa orang keluar," sahut kawan Sarip yang duduknya dekat jeruji besi.

Menggiring? Sekelebat pikiran buruk pun menyapa Sarip. Namun pikiran itu perlahan sirna, karena Sarip mendengar suara derap kaki yang begitu mantap mendekati bilik penjara tempat ia berada.

"Berdiri!" perintah seorang kompeni dalam bahasa Belanda pada semua tahanan di bilik Sarip.  Di luar jeruji, terdapat setengah lusin pasukan bersenjata lengkap bermuka beringas. Seolah siap mencabik para tahanan.

Sarip berdiri tertatih sembari dipegangi Sidin. Perasaan Sarip mengatakan bahwa akan ada hal buruk terjadi. Pria kulit putih yang memerintahkan tahanan berdiri, membacakan sebuah surat dalam bahasa Belanda. Sarip masih ingat bahwa kata-kata yang diucapkan kompeni itu, sama persis dengan surat yang diberikan jongos tua padanya semalam.

Namun kali ini ada sedikit perbedaan. Di penghujung surat, pria itu menyebutkan satu per satu nama-nama tahanan di sini. Ketika namanya disebut di urutan terakhir, rasa ngilu di kaki Sarip mendadak bertambah. Tanpa Sidin, ia pasti sudah tersungkur.

"Kalian yang namanya kusebut, silakan ikut kami." Dua belas orang termasuk Sarip dan Sidin perlahan mendekati pintu penjara. Pintu itu menjeblak terbuka. Para pasukan bersenjata lengkap sudah siap sedia mengawal 12 orang tahanan.

"Cepat jalan!" bentak prajurit pengawal pada Sarip dan kawan-kawannya. Mereka semua digiring ke halaman rumah tahanan. Di sana, Sarip melihat telah banyak tawanan yang terduduk dengan todongan senjata di atas kepalanya. Kelompok Sarip pun segera bergabung dengan kerumunan itu.

Hari masih begitu gulita. Tak ada penerangan, kecuali cahaya dari dalam rumah tahanan yang tampak temaram. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar azan subuh. Namun, rumah tahanan ini begitu ramai. Tak seperti biasanya.

Begitu banyak prajurit bersenjata lengkap berjajar di sekitar pintu keluar rumah tahanan. Lambat laun, semakin banyak saja kelompok yang bergabung di halaman. Sarip yang sejak tadi mengelilingkan pandang, tak sengaja mendapatkan sesosok wajah yang mirip dengan seseorang yang ia kenali. Nurdin.

Bagaimana mungkin Mas Nurdin bisa tertangkap? batin Sarip.

Sarip masih tak percaya dengan yang ia lihat. Nurdin telik sandi andal. Jika ia tertangkap, pasti gerakan polisionil Belanda benar-benar ....

Sersan Yohannes. Mungkinkah dia dalangnya? Dasar lintah darat keparat!

Sarip terus saja mengumpat kelakuan Bapak Sameera itu dalam hati. Dirinya tertangkap, itu tak mengapa. Namun jika Nurdin yang tertangkap, ia benar-benar tak terima. Bayangan Sarip, apabila Nurdin tertangkap, pasti ia mendapatkan siksaan sepertinya. Bahkan mungkin jauh lebih sadis.

Kebencian, amarah dan rasa muak teraduk jadi satu. Mengalir di dalam nadi, ketika Sarip memikirkan kelakuan Sersan Yohannes. Akan tetapi, entah mengapa hati Sarip justru terenyuh saat mengingat tatapan bapak Sameera yang seolah penuh duka tersembunyi.

Sarip masih memandang wajah tertunduk yang mirip dengan Nurdin. Sosok itu sama sekali tak berpaling pada Sarip. Jika memang benar dia Nurdin, ingin rasanya Sarip berteriak memanggilnya, berlari menghampiri dan memeluknya. Namun apa daya, sebuah bedil sedang tertodong di pelipisnya.

Mas Nurdin, berpalinglah kemari .... Ah, bukan! Itu pasti bukan Mas Nurdin. Semoga saja dia memang bukan Mas Nurdin.

Begitulah Sarip, masih berusaha menyangkal kehadiran Nurdin.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang