BAB 31 : AKHIR PENANTIAN

817 43 5
                                    

Meski ayam jantan telah berkokok, sang surya masih belum terjaga sepenuhnya. Sejak semalam, aku masih saja terus terbayang akan pengakuan eyang yang sudah menyadarkanku dari mimpi menuju kenyataan pahit.

Sesama wanita, aku bisa merasakan apabila aku berada di posisi eyang. Aku tak akan sanggup sepertinya. Kehilangan orang tua dan kekasih dengan cara mengenaskan. Sebatang kara di dunia yang kejam. Cukup! Aku tak mau membayangkan hal itu lagi.

Kutengok jam dinding yang belum menunjukkan pukul lima. Pagi ini, aku sudah merencanakan untuk melihat satu lagi benda bersejarah yang selama ini tak kuhiraukan keberadaannya, meski kulalui setiap kali melewati jalanan tengah kota.

Ketika kubuka pintu kamar dan menatap daun pintu kamar di seberang, sekonyong-konyong ada perasaan resah melandaku. Ingin kuketuk pintu kamar eyang, tapi aku takut jika membangunkan beliau. Kucoba perlahan membuka kamar yang tak terkunci. Beliau tertidur pulas dengan desahan napas yang terdengar agak berat. Seberat masa lalu yang beliau coba untuk lupakan.

"Sukma, mau ke mana pagi-pagi seperti ini? Kok bawa tas?" tanya mamaku yang tiba-tiba hadir di belakangku.

"Ehm ... hanya bersepeda, Ma. Ke alun-alun."

"Pagi sekali, Nak. Hati-hati ya. Jangan lupa pakai jaket."

"Oke, Ma." Kucium tangan mamaku dan segera pergi ke garasi.

Kukayuh ontelku meninggalkan rumah. Namun bukan Alun-alun tujuan pertamaku. Ingatan akan mimpiku membawaku untuk mengayuh ke hutan di utara rumahku. Jalanan itu masih menurun tajam, kemudian kembali menanjak. Persis dalam penglihatan Sarip. Hanya saja jalanan dulu tak semulus sekarang.

Dalam remang-remang, berkawan orang-orang yang berlalu-lalang membawa dagangan sayuran, kususuri aspal yang kanan dan kirinya berhiaskan rimbun pepohonan yang serupa.

Sebentuk perbukitan yang tak terlalu tinggi di sebelah barat, menarik perhatianku. Orang-orang setempat menamainya Bukit Purnama. Mungkinkah itu tempat pertemuan Sarip dan Sameera di masa lampau?

Matahari pelan-pelan bangkit dari tidurnya. Sorot cahaya mulai menerangi langkahku yang menuntun ontel ke bukit Purnama. Kusandarkan sepedaku di pohon Sengon di kaki bukit. Sembari menikmati segarnya hawa pagi di kota yang menyimpan kenangan tragis kakek buyutku, aku mendaki bukit itu dengan ingatan manis mimpiku akan pertemuan eyang dan kakek buyutku.

"Oh ... betapa indahnya panorama di sini. Mengapa selama ini aku luput memerhatikannya?"

Gunung-gemunung membentuk barisan yang tak terputus. Begitu eloknya mereka ditimpa rona mentari yang baru saja terbit. Sisa-sisa malam digeser dengan awan kapas yang mulai berarak mencari tempat.

Aku masih mematung tepat di tengah bukit. Bayanganku silih berganti mengenang kemesraan mereka, kemudian perpisahan yang disebabkan kehadiran bapak Sameera.

"Bukit ini masih abadi mengenang ceritera cinta mereka. Hanya kenangan mereka yang tertinggal di sini."

Kuputuskan untuk pergi dari bukit ini ketika suasana telah benderang. Sekarang, barulah tengah kota yang menjadi tujuanku. Ke selatanlah aku mengarah.

Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke Alun-alun. Bukan, bukan Alun-alun tujuanku, tapi di selatan Alun-alun. Di sanalah berdiri tegak sebuah monumen bersejarah. Monumen Gerbong Maut.

Seminggu yang lalu, mungkin aku akan mengabaikannya. Seperti hari-hari biasanya ketika aku melintasi monumen ini. Namun hari ini, aku berdiri tegak di hadapan monumen itu. Memberikan penghormatan pada patung-patung pejuang yang tak bernyawa sembari memekik, "Merdeka! Merdeka! Merdeka!"

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang