"Bapak pengkhianat! Bapak pengkhianat! Ibu, bukakan pintunya! Ibu harus tahu hal ini. Bapak pengkhianat!" Sameera masih terus meneriakkan kata-kata itu sejak semalam. Gedoran-gedoran pintu yang ia lontarkan sama sekali tak digubris.
"Ibu, kumohon bukakan pintunya. Ibu harus tahu hal ini. Kumohon, Bu!" ratap Sameera.
Tubuh gadis itu masih bersandar lemah pada daun pintu kamarnya. Tak sedikit pun beranjak, semenjak Nurdin memberitahukan hal yang selama ini jadi pertanyaan besar dalam benaknya—kejanggalan sikap Bapaknya. Suara Sameera semakin parau saja. Air matanya tak mampu lagi keluar. Mengering bersama seluruh harapannya. Kini, ia tak mungkin bertemu dengan pujaan hatinya.
Semua karena Bapak! Para pejuang menderita kekalahan karena Bapak. Mas Sarip tertangkap juga karena Bapak. Kenapa Bapak bisa berpikir sepicik itu untuk membelot ke pihak musuh? Kenapa, Pak ... Kenapa?
Sameera hanya mampu membatin. Bibirnya gemetar menahan luapan emosi yang bercampur. Ia menatap kosong ke arah kisi jendela yang mulai menyinarinya dengan semburat kuning. Segala pikiran buruk tentang bapaknya silih berganti hadir.
Aku malu jadi anakmu, Pak .... Aku malu .... Dulu aku membanggakanmu, tapi sekarang ... lebih baik aku tak punya bapak sepertimu.
Tiba-tiba sebuah suara kunci pintu menyadarkan Sameera dari ratapannya. Pintu pun perlahan terbuka. Sameera menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari daun pintu.
Rasa bahagia menjalar di hati Sameera. Ia mendapati ibunya yang berdiri di ambang pintu. Sameera langsung berdiri dan memeluk erat tubuh ibunya sembari menangis sesenggukan.
"I-ibu ...."
"Sudahlah, Nduk. Jangan berteriak-teriak lagi ya. Ibu tahu kau tertekan dengan hukuman dari bapakmu, tapi tak patut kau meneriakkan kata-kata seperti itu. Ibu tadi ditegur sama tetangga, mereka menanyakanmu. Orang-orang sekitar mendengarmu menjerit-jerit semalaman. Ibu, merasa tak enak hati dengan tetangga. Ibu malu, Nduk."
Seketika tangisan Sameera terhenti. Ia melepas dekapannya, kemudian mundur selangkah. Mata sembapnya menatap sendu ke arah ibunya. "Jadi Ibu kemari bukan karena kasihan padaku? Ibu hanya memikirkan omongan tetangga? Ibu malu karena punya anak gadis yang menjerit semalaman? Apa Ibu tak sedikit pun memahami perasaanku?"
"Bukan begitu, Nduk. Ibu ... ibu merasa apa yang kau teriakkan terlalu berlebihan. Mungkin kau terlalu depresi dengan hukuman dari bapakmu, tapi bukan berarti kau boleh mengata-ngatai bapakmu seperti itu. Tak boleh, Nduk. Kualat."
"Ibu tak mengerti. Bapak itu pengkhianat. Inilah alasan mengapa bapak selama ini berubah. Bapak PENG-KHI-A-NAT!"
"Hush! Kamu tahu dari mana, Nduk? Jangan ngawur kalau bicara. Dosa, Nduk."
"Aku tak asal bicara, Bu. Sebenarnya aku sudah lama curiga soal itu. Ibu ingat saat aku kabur beberapa hari yang lalu? Aku memergoki bapak melakukan pertemuan dengan beberapa serdadu kulit putih yang membawa truk patroli. Awalnya aku berpikir kalau bapak hanya kebetulan melintas di hutan barat sana, tapi seorang pejuang telah memberitahuku soal bapak."
"Jadi si Sarip itu yang sudah memberitahumu hal-hal buruk tentang bapakmu? Oalah, Nduk. Kenapa kamu bisa lebih memercayai orang yang baru kamu kenal daripada percaya sama bapakmu sendiri?" ucap Ibu Sameera sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Ternyata benar kata bapakmu, kamu sudah kepincut sama laki-laki itu, hingga tak bisa berpikir waras sedikit pun."
"Cukup, Bu! Ibu tak tahu apa-apa. Bukan Mas Sarip yang memberitahuku dan ini tak ada sangkut pautnya dengan Mas Sarip!" bentak Sameera.
"Oh ... Mirah ... kau bukan lagi Mirah yang Ibu kenal. Gadis manis yang dulu selalu menghibur hati, kini sudah berani membentak ibunya. Tak ada lagi gadis penurut yang selalu membahagiakan jiwa Ibu." Suara Ibu Sameera sarat akan kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...