BAB 28 : NAHAS

462 36 16
                                    

Aku tak sanggup lari lagi, Tuhan.

Fajar baru saja menyingsing, tapi Sameera sudah bermandikan peluh. Lari tanpa henti membuatnya kini terasa begitu loyo. Dia benar-benar sudah pasrah jika ia harus tertembak mati.

Sameera memutuskan berhenti sejenak, mengambil napas yang rasanya tersengal di tenggorokan. Ia pun menyandarkan dirinya pada sebatang pokok yang cukup besar.

Dalam diamnya, ia terpekur mengingat segala kejadian nahas yang baru saja dialaminya. Ia sebatang kara. Keluarga kecilnya kini tinggal kenangan.

Aku rindu Ibu ... aku rindu Bapak ... maafkan Mirah. Andai Mirah tak kabur dari rumah, mungkin kebersamaan kita akan lebih panjang. Sebenci apa pun aku dengan Bapak, tapi bukan perpisahan seperti ini yang kuinginkan, Tuhan ....

Air mata tertumpah di pipi Sameera. Sungguh ingin dia menjerit. Namun para prajurit itu pasti akan langsung menangkap Sameera. Di hutan ini, Sameera yakin bisa sedikit mengulur waktu, karena mereka tak biasa dengan medan hutan di sini. Berbeda dengannya yang sering melewati daerah ini, untuk menolong gerilyawan yang membutuhkan bantuan medis.

Sameera sungguh dilanda dilema. Pasalnya, ia tak lagi tahu ke mana arah tujuannya. Ia tak punya lagi sanak saudara. Jika ia kembali ke rumah Rahardjo, ia harus berbalik arah—yang artinya menyongsong para manusia jahanam itu.

"Cari gadis itu! Dia pasti tahu informasi mengenai pemberontak-pemberontak laknat pribumi di kota ini. Dan kita juga bisa bersenang-senang dengannya malam ini. Hahahaha." Gema suara itu membuat Sameera terkesiap. Kompeni-kompeni itu ternyata sudah dekat. Langsung saja Sameera bangkit dan mulai berlari lagi. Tujuan pertamanya ialah mencari perlindungan di desa terdekat.

"Di sana!" Sameera mendengar seruan serdadu Belanda yang ditujukan untuknya. Mereka sudah melihatnya. Ia harus mempercepat langkahnya. Lari, lari dan lari.

Sial, dalam keadaan terdesak seperti ini, justru Sameera tak sanggup lagi berlari kencang. Bahkan di hadapannya ada tanjakan terjal sebuah bukit yang menghadangnya. Mau tak mau Sameera harus memanjat bukit itu sebelum serdadu-serdadu itu melihatnya.

Saat sampai di atas, ia melihat turunan landai. Sameera masih ingat jika di bawah bukit itu, ada semacam tempat persembunyian milik gerilyawan. Ke sanalah tujuannya.

"Ke mana gadis itu? Cepat sekali dia menghilang. Aku yakin melihatnya naik ke tempat ini." Sameera yang meringkuk di dalam ceruk yang agak tersembunyi oleh belukar, mendengar jelas gerutuan para serdadu itu. "Kalian cari dia sampai dapat! Aku yakin dia tak jauh dari tempat ini."

Sameera amat ketakutan. Suara mereka seolah berada tepat di samping tempatnya. Baru kali ini ia dicekam ketakutan luar biasa seperti ini.

Butuh waktu agak lama untuk meyakinkan dirinya bahwa prajurit itu telah pergi jauh. Dengan penuh kekhawatiran, ia mencoba keluar dari persembunyiannya. Ia melihat kondisi sekelilingnya yang menurutnya cukup aman. Sameera memutuskan untuk menuruni bukit lewat jalur yang ia lewati tadi.

Semoga saja kompeni-kompeni itu tak menyadari bahwa mereka semakin masuk ke dalam hutan.

Sameera telah mengecoh mereka. Ia sengaja menaiki bukit agar mereka mengira bahwa Sameera berlari ke sana. Padahal, arah desa terdekat cukup menyusuri sungai di bawah tanjakan.

Tuhan, beri aku pertolonganMu. Apa pun itu asal aku selamat.

Sepanjang perjalanan, Sameera terus saja memanjatkan doa agar diberi keselamatan. Akhirnya, doanya pun terjawab. Ia melihat sebuah gerobak tertutup yang ditarik lembu sedang berhenti di jalan batas hutan dan pemukiman penduduk. Segera saja ia menyongsong ke arah gerobak itu.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang