Izinkan aku bahagia sekali ini saja, Tuhan.
Begitulah batin Sarip meminta. Harusnya ia tak patut berbahagia setelah kekalahannya kemarin. Ditambah lagi, beban moralnya terhadap keluarga Anwar. Namun Tuhan berkata lain, Sarip diberi sedikit pelipur lara. Sameera. Ya, gadis yang masih belia itu dipertemukan kembali dengan Sarip.
Dulu, ia singgah sebentar untuk mengobati luka fisiknya. Kini, ia hadir membawa kesegaran pada batinnya yang sedang kerontang. Tak akan pernah lupa dia pada hari ini. Hari di mana ia bisa begitu dekat dengan Sameera. Lebih dekat dari pada jengkal tangan.
"Kau masih tak mengenaliku, Sally?" tanya Sarip yang sejak tadi membisu.
"Jadi, Mas Sarip benar-benar pernah bertemu denganku?" tanya Sameera penuh keraguan."Apa aku begitu lusuhnya sehingga kau sama sekali tak mengingatku?"
"Bukan begitu, Mas. Tapi saya tak mungkin bisa mengingat semua orang yang pernah saya temui, kecuali orang-orang tertentu saja."
Sarip terdiam mendengar penjelasan Sameera. Sameera benar, dia hanya sekali hadir dalam hidupnya. Itu pun tak sampai setengah hari. Bagaimana mungkin Sameera bisa ingat tentangnya?
Sarip masih mengayuh sepeda milik Sameera. Ia begitu menikmati setiap kayuhannya. Berharap sore ini tak pernah berakhir. Sejak jalanan tak lagi menurun, Sarip tak lagi merasakan lengan Sameera yang melingkar di pinggangnya.
Tuhan memang punya berbagai cara untuk membahagiakan umatNya. Dan Sarip menerimanya hari ini. Sudah 5 tahun terakhir, ia tak pernah lagi merasakan getaran hebat seperti ini. Sejak cinta pertamanya direnggut paksa darinya.
"Ke arah mana setelah ini?" tanya Sarip memecah keheningan.
"Belok ke kiri, Mas."
"Aku tak menyangka kalau rumahmu searah denganku."
"Jadi, rumah Mas Sarip daerah sini?"
"Aku tak punya rumah. Rumahku hanya hutan belantara di utara sana. Tapi aku sering melewati jalan ini.”
Sebenarnya, jalanan yang dilewati Sarip kali ini adalah jalanan yang sama dengan arah pabrik tempatnya bekerja. Sebuah kebetulan yang tak disangka-sangka. Sarip berharap Tuhan merencanakan sesuatu yang indah untuknya.
"Mas Sarip tak punya rumah? Tak usah bercanda Mas. Memangnya Mas Sarip tak punya keluarga?"
"Aku memang sebatang kara. Itu sebabnya, aku begitu menyesali tindakan Anwar yang begitu ceroboh. Jika aku mati, tak akan ada orang yang menyesalinya. Berbeda dengannya yang masih memiliki keluarga yang begitu peduli dengannya."
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi, Mas. Orang seperti Sampean tak mungkin tak diharapkan."
"Sayangnya, aku tak yakin ada seseorang yang mengharapkanku." Sarip memang berkata yang sebenarnya. Selama ini, ia selalu berusaha melupakan kisah cinta pilunya. Hingga kedatangan Sameera mampu mengambil alih mimpi buruknya.
Kini, gadis itu berada tepat di belakangnya. Namun hati kecil Sarip justru tak ingin membawa masuk gadis itu dalam kehidupannya. Sungguh bertolak belakang dengan hasrat alaminya. Sebagai lelaki normal, wajar saja jika ia mendamba gadis hitam manis itu. Tapi ia sama sekali tak ingin membuat Sameera terluka, karena terlalu dekat dengan dirinya yang selalu berkawan dengan maut.
"Mas, bolehkah saya menanyakan sesuatu?" Sebuah pertanyaan dari Sameera akhirnya mengembalikan pikiran Sarip yang telah berkelana jauh.
"Boleh. Tapi, bisakah kau tak bicara terlalu formal padaku?""Maaf, saya selalu seperti ini jika berbicara dengan orang yang belum saya kenal, Mas."
"Tak perlu seperti itu. Anggap saja aku temanmu. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Sebenarnya, kapan Mas Sarip bertemu denganku? Dan bagaimana bisa Sampean tahu namaku?"
"Kau sendiri yang menyebutkan namamu padaku, di stasiun bulan Juli lalu. Kau adalah wanita yang membantu mengeluarkan peluru yang menyasar lutut kiriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...