BAB 12 : NURDIN

625 64 0
                                    

Masih sore saat Sarip mulai memasuki daerah perbatasan hutan dengan desa kedua yang dilalui dalam perjalanannya. Ingin rasanya ia mempercepat langkahnya, akan tetapi kakinya serasa menarik rantai ribuan kilo.

Sadar bahwa ia mulai penat, Sarip pun bersandar pada salah satu pohon. Tanpa sadar, sudut matanya menangkap sebuah pergerakan mencurigakan. Seorang pria celingukan lalu bersembunyi di balik semak. Kemudian, pria itu keluar kembali dengan pakaian kotor penuh lumpur dan memakai caping gunung, serta membawa sabit.

Sarip begitu penasaran dengan pria yang dipandangnya dari kejauhan. Ia pun perlahan mencoba menghampiri pria itu. Berusaha untuk tak menimbulkan suara dalam setiap langkahnya. Si pria sama sekali tak menyadari keberadaan Sarip. Hingga Sarip berada tepat di belakangnya dan menepuk pundaknya.

"Mak e jaran kingkong ...." Si pria itu pun mengeluarkan umpatan yang mengisyaratkan bahwa dia kaget bukan kepalang. Ia langsung berbalik menatap Sarip.

"Mas Nurdin?" Kali ini giliran Sarip yang kaget melihat pria berkumis yang ada di hadapannya. Pria yang dipanggil Nurdin itu, hanya membalas dengan tatapan bingung.

"Mas Nurdin ‘kan?" tanya Sarip sekali lagi. Dan lagi-lagi pria itu hanya terbengong. "Aku Dayat, Mas. Masih ingat?"

Sedetik, dua detik hingga hitungan kesepuluh, barulah si Nurdin menanggapi perkataan Sarip. "Oh ... Dayat? Emmm ... Dayat sopo yo?"

"Apa Mas Nurdin sama sekali tak mengingatku?"

"Hahaha ... guyon Le[1] guyon," ucap Nurdin yang langsung memeluk erat tubuh Sarip. "Kenapa sekarang kamu jadi jelek koyok ngene, Yat?"

"Mas Nurdin, sekarang ini aku sedang dalam penyamaran. Kompeni itu terus menangkapi orang-orang seperti kita. Mulai sekarang, jangan panggil aku Dayat. Nama samaranku adalah Sarip.”

"Oh, ngunu tow. Tapi kowe pancen pantes nganggo jeneng Sarip. Cocok karo rupamu hahaha. (Oh, jadi begitu. Tapi kamu memang pantas pakai nama Sarip. Cocok sama wajahmu)" Gelak tawa Nurdin memecah keheningan hutan.

"Ah, Mas Nurdin mesti bercanda. Sampean mau ke mana kok pakai pakaian seperti itu?"

"Sama sepertimu, Le. Misi penyamaran."

Sarip telah lama mengenal Nurdin. Sejak pertama kali ia masuk dalam kesatuan laskar pejuang di Blitar, Nurdin satu-satunya sahabat terdekatnya. Mereka pun sama-sama dipindah tugaskan ke Bondowoso.

Sudah sekitar hampir tujuh bulan, Sarip tak berjumpa dengan Nurdin. Begitu rindunya Sarip dengan sosok yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Hanya Nurdin, orang yang tahu seluk-beluk kehidupan pribadi Sarip. Sayangnya, ia harus terpisah karena tugas. Kini, begitu tahu Nurdin ada di depannya, rasanya Sarip tak ingin beranjak pulang.

"Mas Nurdin dalam misi penyamaran juga? Tapi bukannya Sampean ditugaskan di komando pusat Jember?"

"Onok sing aneh, Le. Wes enek sakwulan aku dipindah tugaskan neng kene maneh. Tak sawang-sawang kok awak dewe mesti kalah. Aku dikongkon nggoleki sumbere. (Ada yang aneh, Le. Hampir sebulan aku dipindah tugaskan di sini lagi. Kuperhatikan kita selalu kalah. Aku disuruh untuk mencari sumbernya.)"

"Iya Mas. Semalam, penyatronanku juga gagal total. Seolah gerakan kita sudah terbaca. Mungkinkah ada mata-mata di tubuh kita?"

"Lha ini yang tak selidiki. Mok pikir aku klambian ngene iki arep lapo? (Kau pikir aku berpakaian seperti ini, aku mau apa?)”

Sarip hanya tersenyum melihat Nurdin. Ia rindu olok-olokan sahabatnya itu. Meski mereka sama-sama bawahan, tak lantas membuat kemampuan mereka diremehkan. Pria yang lebih tinggi dan lebih tua dari Sarip ini adalah salah satu orang yang selalu dipercaya untuk menjadi telik sandi. Sarip selama ini belajar banyak dari Nurdin.

“Kenapa sampean baru bertugas saat senja begini, Mas?”

“Wong seng tak curigai pasti keluar rumah ba’da magrib.”

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang