"Aku benci Bapak! Aku tak mau lagi melihat Bapak! Bapak keterlaluan! Bapak sudah tak sayang Mirah lagi." Teriakan Sameera dalam kamar menggetarkan seisi rumah. Gadis itu masih terus menggebrak pintu kamarnya. Emosinya bercampur aduk menjadi sebuah kekecewaan.
Malam ini, dua pria telah mengecewakan hidup Sameera. Bapaknya yang dulu begitu menyayanginya, kini tak lagi segan memberinya tamparan. Bekas tamparan beberapa hari lalu belum lagi hilang, tetapi malam ini sebuah tamparan mendarat lagi di pipi kiri Sameera.
Yang lebih membuat perih hati Sameera adalah sikap diam Sarip saat melihat dirinya yang diseret bapaknya. Sarip yang tadi mengatakan bahwa ia begitu peduli dengan keadaan Sameera, justru berbalik sikap ketika berhadapan dengan bapak Sameera.
"Ose tak tahu apa yang ose lakukan, Mirah. Laklaki itu su pung ana di kampungnya," ucap Bapak Sameera dengan nada kesal dari balik pintu kamar Sameera. "Maituanya su pigi tinggalkan dia."
"Bohong! Bapak sengaja membohongi Mirah!" pekik Sameera.
"Bapa su kastau ose, Mirah. Bapa tahu siapa Kopral Dayat. Laklaki itu su tinggalkan keluarganya, Mirah. Ose tau sendiri dia tak peduli dengan ose tadi."
"Cukup, Bapak! Mirah tak ingin dengar suara Bapak lagi."
"Terserah Mirah, tapi mulai sekarang ose tak boleh keluar dari kamar. Bapa kunci ose dari luar."
Sameera langsung saja mengempaskan dirinya di atas kasur dan menutupi telinganya dengan bantal. Ia benar-benar muak dengan ucapan bapaknya. Hatinya kini remuk redam. Dunianya kini hanya sebatas dinding kayu kamar saja. Saat ini, ia hanya sanggup melampiaskan kekesalannya lewat tumpahan air mata. Hingga akhirnya ia tertidur dengan beralaskan kasur basah.
***
Hari ini, tak dapat Sameera melewati hari tanpa rasa kesal. Bagaimana tidak? Ke kamar mandi saja ia dikawal oleh bapaknya, selepas itu kembali lagi ke kamarnya. Makanan pun harus ia nikmati di dalam kamar layaknya seorang narapidana. Lantas sampai kapankah ia harus melewati hari-hari seperti ini?
Sameera menatap nanar ke luar jendela. Ia merasa seperti seekor burung dalam sangkar. Rasanya tak ada lagi gairah dalam hidupnya. Pikiran picik pun melintas dalam benaknya ketika ia melihat sebuah silet di atas nakasnya.
Tidak! Aku tak boleh sepicik itu. Aku tak mau mengakhiri hidupku dengan sia-sia. Ya Tuhan, jauhkan pikiran kotor ini.
Sameera sejak semalam tak pernah tenang perasaannya. Semua perkataan bapaknya tentang Sarip, terus saja terngiang detik demi detik. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak memercayai itu. Sayangnya perubahan sikap Sarip yang begitu mencolok ketika bapaknya menghardik Sarip, justru membuat Sameera semakin yakin bahwa bapaknya berkata benar.
Tak mungkin! Bapak pasti bohong. Mana mungkin Mas Sarip telah beristri dan memiliki anak? Selama ini yang kutahu dia hanya sebatang kara. Bahkan Anwar pun telah bercerita jika Mas Sarip hanya sendirian. Tapi mengapa perasaan ini justru berpihak pada kata-kata bapak? Ya Tuhan, tunjukkan segalanya padaku. Biarkan aku hidup tenang seperti saat sebelum aku mengenalnya.
Suara ketukan pintu nyaring membawa kembali kesadaran Sameera.
"Nduk ... apa ibu boleh masuk?" Mendengar suara ibunya, mendadak perasaan Sameera sedikit tenang. Ia pun berjalan mendekat ke arah pintu.
"Apa Bapak tak ada, Bu?"
"Bapakmu sedang keluar sebentar, Nduk. Ia lupa tak membawa kunci-kuncinya."
Terdengar bunyi pintu berderit terbuka. Langsung saja Sameera memeluk tubuh ibunya. Gadis itu merasakan air mata hangat milik ibunya mengalir di dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...