BAB 24 : PENJARA

368 32 46
                                    

Tubuh lemah itu masih meringkuk di sudut ruangan yang sesak dengan tawanan. Benar, kini Sarip telah berada di penjara sempit yang bahkan untuk tidur pun harus dalam posisi duduk. Terlalu banyak tawanan di sini. Kebanyakan mereka adalah rakyat jelata yang dianggap menentang kaum kulit putih.

Sudah 3 hari Sarip dipindahkan ke tempat ini. Sebelumnya, ia mendekam dalam ruangan pengap bekas kamar mandi yang tak terpakai selama hampir 2 minggu, sejak peristiwa penangkapannya. Tanpa makanan, ia masih sanggup bertahan hidup. Sarip hanya mampu memperpanjang daya hidupnya dengan minum air kran yang ada di kamar mandi kumuh tersebut serta doa-doa yang tak terputus sebagai harapan hidupnya.

Penyiksaan demi penyiksaan memberikan rasa nelangsa yang membekas di sanubarinya. Terutama ketika melihat sosok Sersan Yohannes yang mengawasi penganiayaannya di sudut ruangan temaram, membeku dalam dilema. Sarip tahu, kondisi bapak Sameera bak buah simalakama. Begitu pun dirinya. Terjebak antara cinta dan perjuangan.

Selama masa penyiksaan, tak sekali pun Sersan Yohannes menyentuh raga Sarip. Hanya ketika para algojo Belanda yang menghajar Sarip menyingkir, barulah ia mendekat dan memohon pada Sarip untuk memberikan informasi mengenai markas-markas gerilyawan di luar sana. Selalu saja nama Sameera yang dijadikan pancingan oleh Sersan Yohannes. Membuat pertahanan Sarip luntur sedikit demi sedikit.

Apa lagi setelah Komandan Hook mengatakan pada Sarip bahwa ia telah mengantongi identitas orang terkasihnya dan akan menyeretnya di hadapan Sarip. Runtuh sudah benteng kokoh di hati Sarip. Ia tak sanggup membayangkan jika benar Sameera dijadikan tawanan hanya untuk membuka mulut Sarip.

Namun takdir berkata lain. Sehari setelah Komandan Hook memberikan ancaman pada Sarip, ia justru dipindahkan bersama tahanan lain. Entah karena alasan apa, mungkin saja mereka sudah bosan memaksa dan menyiksa onggokan daging yang tak berdaya. Gagal sudah mereka mendapatkan informasi darinya.

"Mas, bagaimana dengan luka sampean?" tanya seseorang berambut cepak di samping Sarip. Seketika segala lamunan Sarip pun terbuyarkan.

Sarip memandangi tubuhnya. Luka-luka yang ia dapatkan dari penyiksaan selama masa penyekapan, lambat laun menggerogoti daging warasnya. Begitu banyak borok yang menghiasi tubuh Sarip. Bahkan kakinya tak mampu lagi menyokong tegak raganya. Namun, tak sedikit pun Sarip mengeluh dengan luka yang ia terima. Baginya, pengorbanan yang ia lakukan selama ini tak berarti banyak.

"Entahlah, Sidin. Rasanya, tubuhku sudah mati rasa. Tak mampu lagi membedakan tingkat rasa sakit," ungkap Sarip lirih.

"Tapi kelihatannya, obat daun-daunan itu mulai mengeringkan borok-borok sampean." Pria yang dipanggil dengan nama Sidin itu, pelan-pelan membuka luka Sarip yang dibalut dengan dedaunan.

Sejak kepindahan Sarip di penjara ini, ia merasakan begitu banyak perhatian dari sesama tawanan di sini. Bahkan jongos yang ditugaskan untuk mengantarkan makanan dan minuman kepada para tawanan, diam-diam memberikan ramuan tradisional untuk mengobati luka-luka Sarip.

"Terima kasih karena sudah begitu peduli denganku," ungkap Sarip dengan pandangan penuh duka.

"Kenapa Mas Sarip bicara seperti itu? Kau lihat! Kami semua berada di sini sebab kami memiliki tujuan yang sama denganmu. Merdeka dari belenggu penjajah. Dan sejak aku tahu siapa Mas Sarip sebenarnya, sungguh aku sangat menyesal. Mengapa tak sejak awal aku mengikuti jejak sampean? Toh, hanya karena aku melindungi seorang pejuang, aku tertangkap. Apa bedanya dengan sampean yang sudah banyak berjuang di luar sana?"

"Paling tidak kau hanya terkurung. Tak mendapatkan perlakuan sepertiku. Mereka pasti akan membebaskanmu."

Tak ada lagi sahutan dari Sidin. Sarip merasa trenyuh dengan teman buruhnya itu. Setahunya, Sidin memiliki seorang istri yang sedang hamil tua. Namun di sinilah ia berada, terpisah dari orang terkasih.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang