BAB 5 : PERSIAPAN

1.4K 143 14
                                    

Sama seperti hari-hari biasanya, pekerjaannya sebagai buruh tembakau harus dilakoni Sarip sebagai bentuk penyamarannya. Sesekali ia berusaha mencuri dengar apa yang dikatakan antek-antek Belanda yang ditugaskan sebagai mandor di pabrik tembakau ini, untuk mencari informasi berharga.

"Benarkah malam ini akan ada pengiriman senjata, Meneer?" Sarip yang tak sengaja melintas di depan ruangan para mandor, berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka perbincangkan.

"Ya. Mereka diperkirakan akan tiba jam dua dini hari." Sebuah suara dengan aksen Belanda menjawab pertanyaan dari kawannya.

"Hanya satu truk?"

"Drie truck."

"Tiga? Banyak sekali stok senjata kali ini, Meneer. Untuk apa sebanyak itu?"

"Kita akan segera lakukan gerakan pembersihan anjing-anjing pemberontak itu. Sebelum kekuatan mereka semakin besar."

Tidak! Dengan senjata sebanyak itu pasti mereka dengan mudah mengalahkan pihak pribumi. Ini tak boleh dibiarkan. Penyergapan nanti malam harus berhasil. Bagaimanapun caranya, pikir Sarip.

"Hei, apa yang sedang kau lakukan di sini?" Sebuah suara di belakang Sarip tiba-tiba mengagetkannya, hingga membuatnya tanpa sengaja menendang bakul bawaannya yang berisi daun tembakau.

"Ma-maaf, Tuan. Ba-bawaan saya terjatuh, Tuan," ucap Sarip tergagap.

"Dasar buruh payah! Kemasi dan kembali kerja!" bentak salah satu mandor Sarip sambil menendang bakul milik Sarip.

Dengan segera Sarip mengambili daun-daun tembakau yang berserakan di depan ruangan mandornya. Ia tak ingin dicurigai lebih lanjut. Untung saja, mandor yang memergokinya tak curiga padanya. Sarip pun kembali ke tempatnya bekerja. Paling tidak, ia sudah mendapatkan sedikit informasi yang membantu penyerangannya nanti malam.

***

Surya jingga telah beranjak dari tempatnya, ketika Sarip memasuki gubuknya. Setengah hari telah berlalu. Tak ubahnya seperti hari-hari kemarin. Hanya satu yang terasa berbeda. Perasaan was-was tanpa alasan yang jelas.

Tak begitu lama, suara azan magrib menggema. Cukup menyejukkan jiwa Sarip yang sedang gulana. Ia pun segera beranjak menuju surau yang tak begitu jauh dari gubuknya. Beberapa lelaki tampak mulai memasuki surau dan berjajar rapi.

"Nyara, Lek! (Permisi, Pak!)" sapa Sarip pada kerumunan lelaki yang berbincang di teras surau. "Mareh masok. (Mari, masuk.)"

Meskipun Sarip adalah pendatang baru di sini, ia justru sering dipercaya sebagai imam. Namun kali ini, ia hanya diberi amanah menyerukan ikamah sebelum salat. Suara syahdunya mengalun menggetarkan jiwa.
Selepas sembahyang, ia masih bermunajat untuk menenangkan hatinya yang sejak tadi dipenuhi rasa khawatir. Mungkin ini hanyalah perasaannya yang berlebihan, akan tetapi Sarip merasa bahwa ia sangat memerlukan sebuah mukjizat malam ini. Mukjizat yang memberkati kemenangannya dalam penyerangan dini hari nanti.

Sarip baru beranjak dari surau ketika suasana telah sunyi. Itu lebih memudahkannya mengambil jalan pintas menuju hutan yang terletak di balik bangunan surau. Dengan mengendap-endap, ia perlahan memasuki areal hutan. Belum terlambat untuk sampai ke markas persembunyiannya.

Sebagian anak buahnya, telah diinstruksikan agar berangkat lebih dahulu menuju titik kumpul di Krocok. Namun, Sarip dan beberapa yang lain masih harus berkumpul di markas. Ada beberapa hal yang harus dikerjakan terlebih dahulu.

Meski dengan terpincang-pincang, Sarip menyegerakan diri untuk sampai tujuan tepat selepas azan isya. Lututnya yang masih belum sembuh benar pasca tertembak tiga bulan lalu, kini benar-benar telah bergeser. Seperti yang dikhawatirkan Sameera. Harusnya ia beristirahat, tetapi baginya tak ada waktu untuk berleha-leha selama penjajah masih bercokol di wilayahnya.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang