Butuh waktu sekitar hampir dua jam berjalan kaki menuju Krocok. Sarip yakin, tak lama lagi mereka akan segera tiba di tempat tujuan. Dan benarlah, dari kejauhan terlihat samar-samar cahaya obor.
Sarip pun memerintahkan pasukan kecilnya yang hanya berjumlah sepuluh orang, agar segera mempercepat langkahnya. Kali ini, giliran Sarip yang menggendong tandu berisi peti persenjataan. Bagi Sarip, tak ada istilah pemimpin tak memikul beban. Semua sama.
Akhirnya, mereka tiba juga. Sarip mendapati bahwa lebih dari 60 orang telah berkumpul di tempat itu. Sebagian besar adalah wajah-wajah yang sama, yang ikut berperang melawan kaum penjajah di tanah Bondowoso.
"Selamat malam, Komandan!" seru Sarip memberi salam hormat kepada atasannya. Kesepuluh anak buah Sarip pun ikut memberi hormat.
"Selamat malam!" balas seseorang yang disapa dengan sebutan komandan itu. "Hmm ... Kopral Dayat? Kaukah itu?"
"Siap, benar Komandan!" jawab Sarip tegas."Oh, silakan bergabung dengan kami. Ajak anak buahmu duduk!" perintah pria yang disebut komandan itu. "Maaf Kopral Dayat, saya benar-benar tak mengenali penyamaranmu. Sudah lama sekali rasanya tak bersua denganmu."
"Tidak apa-apa, Komandan. Saya juga minta maaf atas keterlambatan kami."
“Apa yang kau bawa itu, Kopral Dayat?”
“Hanya ini sisa persenjataan kelompok kami, Komandan. Maaf Komandan Magenda, setelah ini mungkin Anda bisa menanggalkan nama Kopral Dayat. Biarlah nama Sarip yang menjadi identitas saya sekarang.”
“Oh baiklah jika itu kemauanmu, Sarip.”
Sarip dan pasukannya akhirnya dapat beristirahat sejenak dan berkumpul dengan sebagian anggota lain yang telah mendahului mereka. Mereka pun dijamu dengan makanan dan minuman seadanya, untuk memulihkan stamina mereka yang cukup terkuras karena perjalanan jauh.
Saat Sarip tengah menikmati makanannya, dari sudut matanya ia menangkap sosok yang ia kenali, Said.
"Pukul berapa kita akan berangkat, Komandan Magenda?" tanya Said pada sang Komandan.
"Setengah jam lagi kita berangkat. Persiapkan persenjataan kalian!" perintah Komandan Magenda. "Ingat, apa pun yang terjadi, jangan sampai kalian tertangkap oleh makhluk kulit putih sialan itu."
"Siap Komandan!" jawab seluruh orang yang hadir di tempat itu secara serempak.
***
Semenjak penempatannya di kota Bondowoso tiga tahun lalu, Sarip begitu mengagumi sosok Mayor Ernest Julius Magenda sebagai pemimpinnya. Komandan Batalyon IX Andjing Laut ini, begitu merakyat. Bahkan, ia pun memiliki nama panggilan yang akrab di telinga masyarakat. 'Pak Mick' begitulah beliau dipanggil.Meskipun usianya tak berbeda jauh dengan Sarip, akan tetapi kewibawaannya begitu terpancar. Mayor Magenda begitu peduli pada prajuritnya. Ia bahkan selalu memastikan prajuritnya telah makan sebelum berperang, meski ia sendiri tak pernah mengisi perutnya sebelum ia mengakhiri pertempuran.
Seluruh pasukan telah bersiap dengan senjata masing-masing. Takiari, masih menjadi senjata andalan. Seolah senjata itu adalah senjata pembawa keberuntungan bagi bangsa Indonesia. Mereka telah berbaris rapi, menunggu perintah Komandan Magenda.
"Dengar, malam ini kita akan melakukan penyerangan di dua tempat. Akan saya bagi kalian dalam dua kelompok sama rata," ucap Komandan Magenda dengan penuh kewibawaan.
Di tengah keremangan cahaya obor, Komandan pun segera menunjuk acak prajuritnya. Pasukan yang telah terbagi menjadi dua kelompok, segera bersiap untuk berangkat. Kelompok pertama, bertugas melakukan pengadangan truk yang menyuplai senjata ke markas V.D.M.B. sedangkan kelompok kedua, bertugas membumihanguskan markas itu. Dan Sarip, ikut di kelompok pertama.
Komandan Magenda menjelaskan rencana yang ia buat kepada seluruh pasukannya. Tak lupa beliau memberikan kata sandi khusus bagi pasukannya. Untuk mengantisipasi adanya penyusup di antara mereka. Kali ini, Komandan Magenda yang memimpin penyerangan di markas V.D.M.B sedangkan untuk penyatronan truk, beliau menyerahkan sepenuhnya kepada Kapten Untung.
***
Tugas pengadangan itu dilakukan di jalan utama yang menghubungkan Situbondo-Bondowoso. Cukup jauh perjalanan yang ditempuh kelompok Sarip. Mereka harus melewati beberapa perkampungan serta melewati sungai yang cukup deras. Kelompok Sarip kali ini dipimpin oleh Kapten Untung. Ada sekitar 35 orang yang tergabung dalam kelompok itu. Mereka semua telah menyiapkan mental dan fisik untuk menyatroni musuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...