"Mas Sarip ...."
Mendadak aku tersentak bangun dari tidurku. Kuraba seluruh tubuhku yang basah oleh peluh dan kupandang sekelilingku. Semua masih sama. Kamar tidur tanteku yang penuh warna sedang bermandikan mentari yang menembus gorden.
"Ya Tuhan ... untung semua ini cuma mimpi. Benar-benar buruk kali ini."
Tanganku masih bergetar hebat. Rasanya tubuh terpanggang yang kuketahui bernama Sarip itu masih berada dalam pangkuanku. Dan segala kisahnya tertanam dalam benakku. Meski semuanya hanya sebatas mimpi. Oh ... adakah jenazahnya mendapatkan perlakuan yang layak?
Lalu Sameera .... Pikiranku melayang juga, berusaha mencari kemungkinan di manakah gadis malang itu berada? Apakah ia sanggup mengarungi segala penderitaannya sendiri? Ataukah ia telah menjadi korban kebiadaban di masa itu? Mungkinkah ia juga mengakhiri nyawanya di hari itu jua? Betapa tragisnya kehidupan.
Malam ini ... mungkin akan kutemukan jawaban-jawabannya. Seperti malam tadi dan malam-malam sebelumnya.
"Oh tidak. Mimpi-mimpi itu sudah mempengaruhi kewarasanku. Ayolah, Sukma, buka matamu dan sadarlah! Mereka cuma mimpi, Bodoh! Hanya bunga tidur!" Kutampari pelan pipiku dan kujambak rambutku, berharap aku bisa berpikir normal kembali.
'Tok tok tok'
Suara itu segera membuyarkan ilusiku. Ya, terima kasih pada seseorang yang susah payah menghapuskan khayalan bodohku lewat ketukan pintu.
"Masuk, Te."
Wanita muda berambut pendek kecoklatan yang semula berada di balik pintu, kemudian bersandar di daun pintu sembari menggeleng-geleng ke arahku. Tangannya bersidekap dengan sedikit ekspresi kesal. Seperti biasanya, dia selalu mengerucutkan bibirnya ketika ada hal yang mengganggunya.
"Sukma, kau tahu, teriakanmu mengagetkan tukang sayur di luar sana. Kau ini kenapa sih? Ibu-ibu di luar sana tuh suka nyinyir plus kepo. Sudah tiga hari ini lho kamu kayak gitu. Dan pagi ini yang paling keras. Kamu kesambet apaan sih?"
"Teriakan? Ehm ... aku tak tahu kalau aku melakukannya lagi. Maaf, Tante, ini hanya pengaruh mimpi buruk," ucapku lirih dan tertunduk lesu.
"Mimpi itu datang lagi?" tanya Tanteku sembari berjalan mendekat, kemudian duduk di sebelahku. Aku pun hanya bisa mengangguk lemah tanpa memandangnya.
Memang sudah tiga hari ini, aku dihantui mimpi yang aneh. Seperti kilas balik sebuah peristiwa. Lebih anehnya lagi, mimpi itu seperti romansa bersambung. Aku mencoba menceritakan mimpi itu pada tanteku, tapi sayang dia hanya mencebik padaku.
Tanteku mengacak-acak rambutku seraya menggodaku, "Dasar Kutu buku! Alam bawah sadarmu itu sudah terpengaruh dengan kisah-kisah histori yang kau baca. Cobalah cari bacaan yang membuatmu bernafsu mencari cinta. Biar nggak jadi jones gitu. Jangan cuma bermesraan dengan tumpukan buku jaman penjajahan mulu."
"Ahhh ... Tante mah nggak asyik. Cinta cinta melulu bahasannya, tapi situ perawan tua," balasku menyindir.
"Apa kau bilang?! Sudah sana, bersihkan kamarmu dan kemasi barang-barangmu dan segera mandi. Papa mamamu akan menjemputmu nanti."
"Terus ... rencana kita? Katanya Tante mau mengajakku jalan-jalan ke museum sebelum aku pulang? Jadi 'kan? Jadi ya, Tante, please." Aku memasang wajah melas di hadapan wanita berusia 25 tahun itu.
"Iya, Keponakanku sayang ... beresi semua dulu. Dasar anak jaman sekarang! Jam 9 baru bangun," gerutu Tanteku, "oh ya dan bilang ke papamu untuk menjemputmu di museum saja. Aku males ndengerin omelan papamu soal tata ruang rumah kontrakanku yang terlalu minimalis dan kurang sentuhan artistik. Huh ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...