Bunyi kokok ayam dan semburat sinar pagi yang masuk dari celah jendela kamar, membuat Sameera tersadar dari tidurnya. Kali ini ia bangun kesiangan. Rasa takut masih menjalar di tiap bagian syarafnya. Namun, ia tak mungkin seharian berada dalam kamar. Cepat atau lambat bapaknya pasti akan memarahinya.
Pelan-pelan Sameera keluar kamar, memperhatikan keadaan sekeliling. Senyap. Semua jendela masih tertutup rapat. Tak biasanya keadaan seperti ini. Sameera berjalan ke belakang rumah, menuju kamar mandi. Saat melewati dapur, Sameera juga tak melihat ibunya.
Ke mana Ibu? Apa dia pergi mencari kayu tanpa menungguku? pikir Sameera.
Di dalam bilik kamar mandi, sayup-sayup terdengar suara Bapak Sameera dari arah ladang tebu yang berada di balik dinding kamar mandi. Perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu yang tak mengenakkan setelah ini.
Tepat saat Sameera keluar dari kamar mandi, ia pun bertatapan dengan sosok lelaki berkulit gelap, berperawakan tegap dengan rambut keriting klimis yang mengilap tersorot mentari pagi. Sorot matanya tajam penuh amarah. Lelaki itu berkacak pinggang sambil memikul kayu di tangan kanannya.
"Barapa kali Bapa su peringatkan, jangan pernah ko orang kambali ke posko! Malah kamarin malam tak pulang-pulang. Dasar kapala batu!" omel Bapak Sameera.
Sameera hanya bisa tertunduk mendengar omelan bapaknya. Ia sama sekali tak berani menatap wajah bapaknya, apalagi membantah. Ia tahu bahwa dirinya memanglah bersalah.
"Bapa tak ingin kau kambali kasana lagi dengan alasan apa pun! Bapa su kas'tau ko orang bahwa kondisi saat ini sedang memanas. Tapi ko orang masih saja tak turut apa kata Bapa. Ko orang memang anak tak tahu diuntung, Mirah. Mulai sekarang, kau tak boleh keluar rumah!"
'Braaakkk'
Batang-batang kayu yang dipikul bapaknya, dilemparkan begitu saja di samping tubuh Sameera. Kemudian bapaknya bergegas pergi penuh emosi, meninggalkan Sameera dengan perasaan bersalah.
Seumur hidup Sameera, ia tak pernah merasakan bentakan dari bapaknya. Meski Bapaknya terkenal dengan karakternya yang keras di luar rumah, ia sama sekali tak pernah memperoleh kekerasan apa pun, kecuali beberapa minggu ini. Hampir sebulan ini, Sameera merasa janggal akan perubahan sikap bapaknya yang begitu drastis. Dia yang dulu tak pernah berucap kasar, kini sering mencaci. Bahkan sekarang, kerap kali Sameera melihat Bapaknya main tangan terhadap Ibunya.
Tak terasa air mata menetes di pipi Sameera. Ia tak mengerti mengapa bapaknya bisa bersikap seperti itu. Padahal bapaknya sendiri yang selalu mendukung keinginan Sameera untuk terjun ke dunia keperawatan. Namun saat ini, semuanya berbeda.
“Mi-mirah ... a-apa yang terjadi, Nduk?” Tanpa Sameera sadari, ibunya sudah berdiri di dekatnya, kemudian mengusap air mata di kedua pipi Sameera. “Apa Bapakmu memukulmu, Nduk?”
Sameera menggeleng. “Bapak hanya memarahiku dan ... melarangku keluar.”
"Sudahlah, Nduk. Jangan kau ambil hati makian Bapakmu. Mungkin Bapakmu sedang banyak masalah di tempat kerjanya. Kau mungkin perlu tahu, Nduk, kalau sekarang ini banyak gerakan gerilya yang dipatahkan kaum penjajah."
Sameera merasakan pelukan hangat ibunya. Ia pun menyandarkan kepalanya pada pundak ibunya.
Aku tahu, Bu. Aku melihat sendiri kegagalan pejuang-pejuang itu, batin Sameera.Kemudian Sameera berucap pelan sambil sesenggukan menahan tangis, "Tapi Bapak tak pernah seperti itu sebelumnya, Bu. Selama ini Bapak tak pernah menentangku untuk bergabung bersama relawan lain. Mengapa sekarang semuanya justru berbalik?"
"Jangan berburuk sangka, Nduk. Beban Bapakmu sungguh berat. Tiap malam ia berjuang di luar sana. Bukan hanya demi kita, tapi demi semuanya. Sebenarnya ... Ibu sendiri sekarang susah memahami Bapakmu, Nduk. Terkadang ia tampak ketakutan. Seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...