"Masuk sana!" perintah seorang prajurit yang menyeret Sarip ke gerbong ketiga. Sarip yang sudah sempoyongan, ditendang begitu saja hingga hampir tersuruk. Beruntung seorang tahanan di sana berhasil menangkap tubuh Sarip.
"Te-terima kasih ...." Sarip sama sekali tak menyadari siapa orang yang telah membantunya.
"Sama-sama Mas Sarip."
"Sidin? Kaukah itu?"
"Iya Mas," ucap Sidin, "mari kutuntun ke tepi." Sidin pun segera memapah tubuh Sarip. Menyibak kerumunan tawanan yang menyesaki gerbong dan mendudukkannya di bagian pojok gerbong tanpa suara.
"Kupikir aku tak lagi bisa bertemu dengan orang-orang terdekatku. Tapi ternyata kau masih ada di sini," ujar Sarip lirih.
"Jangan bicara seperti itu, Mas. Sudahlah sekarang sampean duduk saja di pojok sini. Aku akan menjaga sampean."
Mata Sarip yang masih belum bisa menyesuaikan kondisi gelap di dalam gerbong, tak dapat menghitung pasti jumlah tawanan yang ada di sini. Yang ia tahu, gerbong ini begitu sempit. Tahanan-tahanan di sini berdiri saling berdesakan dan pintu gerbong dijaga ketat oleh pasukan bersenjata. Beberapa tawanan berusaha memberontak, mencoba keluar dari gerbong. Namun para penjaga tak segan memopor siapa saja yang hendak melawan mereka.
"Diam kalian!" bentak salah satu penjaga yang berada di ambang pintu gerbong. "Tak boleh ada yang bersuara di sini. Jika tidak, maka pelor ini akan melubangi kepala kalian!"
Lambat laun, sinar keemasan memancar dari balik pintu, hingga menerangi seisi gerbong. Sarip mengedarkan pandangan, tapi hanya ada sosok Sidin yang ia kenali dari total 38 orang tahanan, termasuk dirinya.
Lama sudah para tahanan menunggu kereta diberangkatkan dalam kondisi terintimidasi. Tak ada lagi yang berani bersuara, apalagi mencoba melawan. Matahari semakin benderang ketika akhirnya terdengar suara derum kereta yang mendekat. Segera saja para penjaga menutup pintu gerbong tempat Sarip berada. Seketika keadaan yang semula terang, kini menjadi redup kembali.
"Orang yang tadi memapahmu itu temanmu?" tanya Sidin yang berdiri di samping Sarip. Para tahanan lain pun kini sudah berani angkat suara karena si penjaga telah pergi.
"Iya. Itu Nurdin. Dia lebih dari sekadar teman. Dia sudah seperti masku sendiri." Kegetiran terpancar dari ucapan Sarip. Seketika terbesit sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa pelukan Nurdin tadi, tak akan pernah Sarip rasakan lagi.
Tiba-tiba sebuah guncangan terasa, diiringi bunyi benda keras berbenturan. Tak lama kemudian, pergerakan terasa di gerbong itu. Pertanda bahwa kereta telah melaju.
"Apa dia seorang pejuang juga?"
Sarip mengangguk menanggapi pertanyaan Sidin, kemudian berkata lirih, "Ia bahkan pernah dipercaya sebagai tangan kanan pimpinanku. Tapi hanya karena keegoisanku, dia tertangkap."
"Mas Sarip, jangan menyalahkan diri sendiri. Aku yakin, teman sampean tak mungkin menyalahkan sampean. Bukankah akhir-akhir ini memang penjajah itu semakin gencar menangkapi para pejuang?"
Sarip terdiam. Tak lagi menanggapi perkataan Sidin. Rasa penyesalan yang teramat dalam menghantui benak Sarip. Bayangan orangtuanya yang mati tertembak karena Sarip lebih memilih bungkam daripada membocorkan rahasia pejuang, kenangan putra semata wayangnya yang ia telantarkan, ingatan akan kebersamaan yang selama ini ia lalui bersama Nurdin serta memori manis bersama Sameera meski hanya sekejap. Semuanya bersamaan menampar kesadaran Sarip.
Aku memang tak pantas mencintai dan tak patut dicintai. Maafkan aku, Bapak, Ibu, Mas Nurdin. Maafkan bapak, Suryo. Semoga suatu saat kau tak membenci bapakmu ini, Nak. Bapak tak bisa menemani kehidupanmu. Dan untukmu, Sally, maaf jika aku lancang masuk dalam kehidupanmu. Aku hanya bisa memberikan duka untukmu dan semua orang yang kusayangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...