Jadi ini alasan ose kabur dari rumah? Ini sebabnya kaa ose tak turut apa kata bapa? Ose ke posko hanya untuk laklaki ini? Siapa dia, Mirah?!” Ekspresi lelaki berparas Ambon di hadapan Sarip semakin menggarang. Tangannya bersidekap dan jari-jarinya mengepal erat. Gadis di sampingnya mengundurkan langkah sedikit demi sedikit seraya tertunduk.
“Ini ... ini tak seperti prasangka Bapak.”
“Selamat pagi, Sersan Yohannes.” Sarip maju selangkah dan memberi hormat selayaknya ia menghormat pada atasannya.Seketika hawa ketegangan sedikit mereda. Pandangan penuh tanya dilempar oleh lelaki yang dipanggil Bapak oleh Sameera. Ia memperhatikan setiap detail raga Sarip.
“Siapa ale?” tanyanya ketus.
“Saya Kopral Hidayat, Sersan.”
Sersan Yohannes tampak berjengit. Alisnya bertaut sama lain.
“Kopral Hidayat?
“Benar, Sersan. Bagaimana kabar Anda?”
“Barani sakali ose tanya beta pung kabar. Anggap beta su mati saja.”
“Ke-kenapa Anda berbicara seperti itu, Sersan?”
“Apa ose seng inga masa agresi lalu, hah?! Aaahhh ... parcuma. Tarlambat par disesali.”
“Saya ... saya benar-benar minta maaf atas kejadian itu, Sersan. Sungguh itu di luar kendali saya.” Nada penyesalan yang diutarakan Sarip, tak sedikit pun mengurangi raut muka benci yang ditunjukkan Sersan Yohannes.
“Balek sekarang, Mirah! Tak usah ose bantah bapa!”
Sarip melirik Sameera yang tampak enggan menuruti perintah bapaknya. Namun sebuah sentakan keras memaksa gadis itu mengikuti bapaknya.
“Tunggu, Sersan!”
“Barenti di situ! Tak sudi beta lihat muka ose!”
Tergesa-gesa Sersan Yohannes meninggalkan posko. Pandangan memelas yang mewarnai wajah Sameera menggetarkan nurani Sarip. Kekhawatiran akan nasib gadis itu semakin menghantui benak pria yang berjalan timpang ini.
Sarip terperenyak di samping pohon beringin. Ia sama sekali tak menyangka jika Sersan Yohannes begitu membencinya. Seingatnya, tak ada kesalahan yang pernah ia perbuat kecuali satu hal.
Ketika puncak agresi lalu, ia dan beberapa kawannya termasuk Sersan Yohannes berhasil tertangkap. Meskipun telah diobati, luka tembak di lutut Sarip sungguh memperlambat langkahnya untuk kabur dari para serdadu Belanda. Di truk dengan bak terbuka, para pejuang—termasuk Sarip—yang menjadi tawanan dijaga ketat pasukan Belanda bersenjata laras panjang. Mereka tampak tak segan menembak pejuang yang berniat kabur.
Hanya ada kebisuan di antara pejuang. Namun dari tatapan mata mereka, Sarip paham jika kawan-kawannya berusaha mencari celah untuk kabur. Hingga saat truk tersebut mempercepat lajunya, sebuah isyarat dari Sersan Yohannes membuat semua laskar pejuang serempak melakukan penyerangan.
Perlawanan alot antara tangan kosong dan bedil pun tak terelakkan. Beberapa serdadu terjungkal keluar truk. Pejuang yang berhasil merebut senjata, langsung menembak mati orang kulit putih yang menawan mereka. Namun nasib naas menimpa Sersan Yohannes. Ketika Sarip melawan dan berusaha merebut senjata salah satu kompeni, tanpa sengaja ia menarik pelatuk. Maksud hati mengarahkan bedil itu ke musuhnya. Akan tetapi, senjata tersebut justru meletup ke arah lengan kiri Sersan Yohannes.
Seketika erangan yang keluar dari mulut Sersan Yohannes menusuk hati Sarip. Darah segar merembes membasahi seragam sang Sersan, menetes tanpa henti. Tak ada korban jiwa di pihak pejuang. Hanya dua orang saja yang terluka selain Sersan Yohannes.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...