Arloji yang dibawa Sameera masih belum menunjukkan waktu siang, ketika Sameera dan kedua kawannya tiba di posko. Sebuah bantuan dari penduduk menyelamatkan mereka dari berjalan kaki berkilo-kilometer. Meski hanya menaiki sebuah gerobak yang ditarik dua ekor sapi, itu cukup menyembunyikan Anwar dari kecurigaan prajurit patroli Belanda yang sedang melakukan razia.
Memang, akhir-akhir ini gerakan gerilya melawan Belanda merebak di mana-mana. Itu sebabnya pasukan patroli gencar melakukan penangkapan pada orang-orang yang diduga mencurigakan. Walaupun Sameera adalah salah satu anggota PMI yang notabene berada di garis netral, ia masih merasa was-was.
Begitu sampai di dalam posko, ada beberapa petugas yang langsung menangani bocah itu. Sameera masih mengamati kondisi Anwar dari kejauhan. Ia berharap belum terlambat untuk menolong anak itu. Setelah merasa yakin bahwa Anwar akan baik-baik saja, Sameera berjalan keluar menuju pintu belakang posko.
Sebenarnya bangunan posko ini hanyalah bangunan segi empat tanpa sekat. Yang mana bagian bawah bangunan sampai setinggi satu meter menggunakan tembok dari bata, sedangkan bagian atas bata sampai langit-langit hanya menggunakan gedek.
Kali ini, Sameera dapat beristirahat sejenak di belakang posko, bersandar pada beringin yang rindang. Dalam diam, ia terbayang wajah Sarip. Ia masih mencoba mengingat seseorang berwajah seperti Sarip. Namun, gagal.
"Harusnya aku mengenalnya," gumam Sameera pada dirinya sendiri. "Ya Tuhan, bantu aku mengingatnya."
Sameera masih diliputi rasa penasaran terhadap Sarip. Ia berjanji pada dirinya sendiri, akan mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya langsung pada Sarip, bila nanti bertemu lagi.
Semilir angin yang membelai lembut tubuh Sameera, akhirnya membuatnya terlelap. Rasa penat dan kantuk membantunya terbuai dalam tidur yang berkualitas. Entah berapa lama ia tertidur.
***
Sameera kini berdiri di dalam sebuah ruangan yang tak asing baginya. Ia berada tepat di depan pintu masuk stasiun Bondowoso. Di sekelilingnya banyak pejuang yang terluka. Namun, seseorang telah menarik perhatiannya.Pria berkulit sawo matang dengan rambut terpangkas rapi duduk bersandar di sebelah pintu masuk, membuat jantung Sameera berdegup kencang. Ingin sekali Sameera mendatangi pria yang sedang membebat luka di lututnya, tapi Sameera sama sekali tak bisa beranjak.
Tanpa sengaja, bola mata hitam lelaki itu bertemu pandang dengan Sameera. Tatapannya tegas namun hangat. Dalam sekali lihat saja, Sameera berhasil terpikat pada lelaki itu.
“Kopral Hidayat ....” Sameera bergumam lirih, memanggil nama lelaki tersebut.
Mendadak penglihatan Sameera beralih. Kini ia berada di tengah hutan. Di hadapannya, pria berambut ikal sebahu duduk terpekur dengan raut muka yang kusut masai. Sameera terhenyak ketika lelaki itu memandangnya.
“Mas Sarip?” gumam Sameera.
Ada hal aneh yang dirasakan Sameera. Tatap mata Sarip sangat mirip dengan Kopral Hidayat. Sameera mencoba membandingkan fisik mereka. Kopral Hidayat yang ia kenal tak sekurus Sarip. Lagipula, sosok Sarip begitu berantakan dan tak terurus, amat berbeda dengan Kopral Hidayat yang tampak rapi tanpa kumis dan jambang.“Sally ....”
Ucapan Sarip seketika membangunkan paksa tubuh Sameera dari alam bawah sadarnya.
“Ya Tuhan, untung ini cuma mimpi. Tapi ... mungkinkah mereka orang yang sama?” tanya Sameera pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba sebuah teriakan histeris mengagetkan Sameera yang masih memikirkan mimpinya. Ia pun langsung bergegas menghampiri asal suara yang tak lain dari dalam posko.
Sameera mendapati seorang perempuan paruh baya yang pingsan di pangkuan lelaki yang kelihatan lebih tua. Sedangkan di samping lelaki itu, duduklah Sarip dengan raut muka yang sendu. Mereka berada dekat dengan Anwar.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...