Selepas shalat isya berjamaah di surau dekat gubuknya, Sarip dan Nurdin memulai perjalanan menuju Krocok. Sengaja Sarip mengajak Nurdin agar ia bisa membicarakan temuannya pada Mayor Magenda, perihal kecurigaannya terhadap pribumi yang diduga membocorkan rahasia para gerilyawan.
Perjalanan menuju Krocok sama sekali tak terasa begitu jauh bagi Sarip. Bersama Nurdin, hidupnya kembali utuh seperti dulu. Sarip sudah menganggap Nurdin sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Mas, Sampean masih ingat jalan markas kita yang ada di Krocok?" tanya Sarip pada Nurdin.
"Awakmu ngetes aku, Rip? Masiyo aku wes tuek tapi aku ora pikun, Le. (Kau mengujiku, Rip? Meskipun aku sudah tua tapi aku bukan pelupa, Nak)"
Sarip pun mengizinkan Nurdin untuk memimpin perjalanan mereka ke timur, melewati ladang jagung yang kemudian berangsur beralih menjadi hutan jati. Malam itu begitu terang. Pancaran purnama dan sinar gemintang membantu menentukan arah dan menerangi langkah Sarip menuju markas yang berada di tengah hutan. Ia begitu berharap kondisi teman-temannya sudah membaik pasca gagalnya penyatronan semalam, kecuali Anwar. Bocah itu pasti butuh waktu lama dalam proses penyembuhannya.
Sebuah sungai beraliran tenang dengan batu-batuan besar di bantarannya, memaksa Nurdin dan Sarip untuk rehat sejenak. Sungai itu menjadi penanda alam bahwa tak lama lagi mereka akan sampai di tujuan. Mereka kembali menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai yang mengular ke timur laut.
Setelah berjalan sekitar dua kilometer, mereka mendapati bukit yang tak begitu tinggi di seberang sungai, mereka pun melintasi sungai dangkal dan mendaki bukit tersebut. Sampai di puncak bukit, mereka melihat samar-samar penerangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sarip dan Nurdin pun berlarian layaknya bocah menuju lokasi tersebut. Begitu sampai di sana, sepi. Hanya ada beberapa obor penerang kegelapan.
"Ke mana mereka semua?" tanya Sarip kebingungan.
Nurdin pun sama bingungnya dengan Sarip. Mereka berdua segera memeriksa di sekitar tempat itu. Namun tak dijumpai apa pun.
Tiba-tiba Nurdin menepuk keras pundak Sarip dan berseru, "Rip deloken, ono saklebatan ayang-ayang! (Rip lihatlah, ada sekelebat bayangan)"Sarip memperhatikan Nurdin yang menunjuk ke arah bayangan di sisi utara sebuah batang pohon yang tumbang. Mereka pun sepakat untuk mengikuti bayangan itu dengan mengendap-endap. Hingga akhirnya sampailah mereka pada sebuah tempat yang sedikit lapang. Beberapa bivak dibangun di sini. Namun tempat ini tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali.
"Apa-apaan ini? Kosong lagi? Apa mereka telah pergi?” gerutu Sarip.
“Lha nek wes ngaleh, terus sopo seng nguripi obor? Genderuwo? (Kalau sudah pergi, terus siapa yang menyalakan obor? Genderuwo?)”
“Mungkin saja obor itu sudah dinyalakan sebelum petang, Mas Nurdin. Kemudian mereka berpindah ke tempat lain yang lebih aman.”
Mereka saling berpandangan tanpa suara.
"Selamat malam, Kopral." Sebuah suara yang tak asing mendadak terdengar di belakang Sarip. Ia pun langsung berbalik arah dan mendapati kawannya yang berkepala plontos melempar seulas senyum padanya.
"Said, ada apa ini? Mengapa tempat ini kosong?" tanya Sarip penasaran.
"Jadi, bayangan tadi itu ... Sampean?" timpal Nurdin.
"Mas Nurdin? Senang sekali melihat Anda bergabung di sini.” Said pun segera memeluk tubuh kawan lamanya itu. Nurdin pun membalas dengan menepuk lembut punggung Said.
“Aku yo seneng iso kumpul maneh karo awakmu (Aku juga senang berkumpul lagi denganmu),” sahut Nurdin. “Enek opo awakmu kok nang kene, Said? (Kenapa kau di sini, Said?)”
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...