Masih terpaku dalam segala prasangkanya, hingga tanpa Sameera sadari kegelapan mulai merangkul dirinya. Ia bingung hendak ke mana. Tak mungkin ia kembali pulang dengan kegelisahan seperti ini. Sameera beranjak dari balik semak, berjalan menuju ontelnya yang ia tinggalkan di antara pepohonan yang sedikit jauh dari persembunyiannya.
Tak ada pilihan tempat kembali lagi selain posko PMI. Ya, ke sanalah Sameera mengayuhkan sepedanya. Meski kegelapan mulai merayap, ia memberanikan diri untuk menempuhnya. Sameera berharap truk yang ia lihat tadi tak mengangkut serdadu-serdadu Belanda yang melakukan patroli.
Sejujurnya ia begitu takut jika bertemu dengan pasukan patroli. Apalagi gerakan penangkapan besar-besaran yang mereka lakukan pada seluruh rakyat jelata yang dicurigai membantu para pasukan gerilyawan.
Sameera semakin mempercepat lajunya. Berharap ia sampai ke posko sebelum waktu isya. Namun saat ia memasuki sebuah perkampungan, dari jauh ia melihat kericuhan. Sameera berhenti sejenak, memperhatikan apa yang terjadi. Beberapa serdadu Belanda sedang terlibat adu mulut dengan seorang wanita renta berbadan kurus yang sedang merangkul lelaki paruh baya berambut cepak.
Wanita tua itu tampak berusaha keras mempertahankan lelaki yang kelihatannya adalah putranya. Sayangnya, seretan dari pasukan kulit putih itu jauh lebih kuat dari pelukan sang wanita tua. Pria itu pun akhirnya dimasukkan di bagian belakang truk yang tertutup rapat. Si wanita renta seketika menjerit histeris memanggil putranya. Namun tak sedikit pun digubris oleh pasukan patroli, bahkan sebuah tendangan keras melayang ke perut wanita tersebut.
Sameera yang melihatnya dari kejauhan, tak tega melihat perlakuan yang diterima si ibu. Ia pun mengayuh kembali ontelnya dan menghampiri si ibu yang terjerembap di tanah.
“Ibu, tak apa-apa? Mari kubantu,” ujar Sameera lembut seraya mendudukkan tubuh perempuan di hadapannya.
“A-anakku ....” Perempuan berkemben tersebut menangis sesenggukan di pundak Sameera. Ia berusaha menenangkan ibu yang sedang kalut karena baru saja kehilangan anaknya.
“Tenang, Bu. Sebenarnya kesalahan apa yang diperbuat oleh anak Ibu sehingga serdadu-serdadu itu menangkapnya?”
“Sidin ... dituduh bergabung dengan laskar pejuang Bondowoso. Tapi dia tak pernah bergabung, Nduk. Tak pernah!” elak perempuan berambut putih itu. “Memang Sidin punya niatan untuk bergabung, namun istrinya yang sedang hamil tua melarangnya. Sekarang ... bergabung atau tidak, anakku tetap ditangkap. Mereka semua orang-orang jahanam!”
Lagi-lagi tangis histeris dari si ibu, memilukan hati Sameera. Berapa banyak lagi ibu yang harus kehilangan anaknya? Istri yang kehilangan suaminya? Anak yang kehilangan bapaknya? Sampai kapan keadaan seperti ini terus berlanjut?
“Saya paham perasaan Ibu. Tapi bagaimana lagi ... kita di sini hidup dicekam ketakutan. Kita hanya bisa pasrah dan berdoa agar keluarga kita senantiasa dilindungi Tuhan. Mari saya antarkan pulang, Bu, hari sudah gelap. Di mana rumah Ibu?”
“Di ... sana ....”
Sameera memapah tubuh perempuan yang terus memegangi perutnya itu ke sebuah gang sempit di antara dua rumah yang tak jauh dari tempat kejadian. Setelah melewati gang yang hanya selebar satu meter, Sameera mendapati sebuah gubuk yang diterangi dua obor di bagian depan.
“Sudah, Nduk. Di sini saja.” Wanita itu menyuruh Sameera agar mendudukkannya di amben bambu di teras rumah. Sameera mencoba memeriksa perut si Ibu, tetapi tangan Sameera segera ditepis.
“Yang sakit bukan perut, Nduk. Tapi hati. Tak ada obat penyembuh dari luka hati seorang ibu yang kehilangan anaknya.”
Perkataan si Ibu seolah menohok Sameera. Gadis itu langsung teringat akan ibunya. Pasti ibunya dilanda kecemasan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...