2) THE QUEEN AND KING OF PROCESSUTOR (Esme's Side)

1.6K 92 2
                                    

Aku hanya geleng-geleng kepala sambil menyunggingkan senyum tipis saat teman-teman satu direktoratku membicarakan perihal keberanianku di bis seminggu lalu. Ada yang memuji, ada juga yang terang-terangan menggodaku soal laki-laki tampan yang kubuat malu di depan khalayak ramai waktu itu.

"Hati-hati loh Es, kalo pulang ke Jogja, siapa tahu dia lagi ngerancang strategi buat ngebales lo. Apalagi jaman sekarang teknologi udah makin canggih, bisa aja kan dia nyusul lo ke Jakarta. Biar kata lo udah dijamin untuk dilindungi oleh bagian atas. Tapi tetep aja, kemungkinan kejahatan susulan bakal ada," ujar mba Dewi Shinta--the queen of negative thinking, alias kepala sub direktorat TP korupsi, dari balik kubikelnya, tepatnya di samping kananku.

"Nggak usah diladenin dia, Es. Gue yakin, setelah kejadian itu, cowok itu langsung lari terbirit-birit pulang ke rumah trus sujud di kaki emaknya," timpal mba Dewi Gangga--the queen of positive thinking, alias kepala sub direktorat TP khusus lainnya.

"Eh, masa? Emang lu liat sendiri, Ga?" tanya bang Deva Krishna--the king of netral squad, alias sekretaris direktorat eksekusi dan eksaminasi.

"Khusnuzon aja kali, Es. Aku dukung pendapat si Dewi," sanggah mba Devi Parvati-the queen of kultum, sekaligus sahabatku satu rumah kontrakan, alias kepala sub direktorat TP pelanggaran HAM dari bagian direktorat penyidikan, yang kebetulan sedang nyasar ke daerah teritorial kami.

"Nah, gue bilang apa, Es," sahut kedua Dewi bersamaan. Sontak keduanya saling tatap dengan tajam.

"Dewi itu gue," ujar mba Dewi Gangga.

"Nggak, bukan lo. Dewi itu gue," balas mba Dewi Shinta.

"Bukan kalian. Tapi Devi. Itu gue," potong mba Devi Parvati, sejenak semua orang terdiam.

Krik....krik....

"Semua kembali bekerja!" sambar Satria Baya Aswadi--the king of ice, alias kepala direktorat eksekusi dan eksaminasi, dari pintu masuk ruangan kami.

~~~

Hari ini cukup menguras tenaga dan pikiran. Setelah perdebatan antara teman satu direktorat, yang diinterupsi oleh Satria, aku langsung diberondong sekitar sepuluh kasus di atas meja kerjaku. Kesemua itu, adalah kasus pelanggaran HAM.

"Es, setelah ini kamu ke ruangan saya," ujar Satria, saat melewati kubikelku, menuju pantry. Aku mengangguk lemah. Ingin menolak, tidak bisa. Baiklah, mungkin dia hanya perlu sebentar denganku.

"Es, lo sadar nggak sih kalo si bos akhir-akhir ini sering curi pandang ke elo?" bisik mba Dewi Gangga.

"Apa sih? Masa? Ngaco lo, mba," sahutku sambil masih fokus di depan layar komputerku.

"Beneran, Es. Gue nggak bohong. Iya kan, Ta?" tanya mba Dewi Gangga pada mba Dewi Shinta. Wanita itu mengangguk antusias. Melihat ekspresi serius mereka, justru membuat dadaku tergelitik geli. Aku terbahak, hingga mengagetkan bang Deva Krishna yang entah mungkin sejak tadi sibuk dengan pekerjaannya.

"Hmmm....Es, ke ruangan saya," sentak Satria, saat kembali melewati kubikelku menuju ruangannya.

"Tuh, dia mandang lo lagi, Es," ujar mba Dewi Gangga.

"Apa sih?" balasku risih. Lalu aku buru-buru berjalan menyusul Satria.

~~~

Sepuluh menit telah berlalu, tapi tak sedikit pun kulihat tanda-tanda Satria ingin mengajakku bicara. Sejak aku masuk, kemudian mendaratkan pantatku ke kursi di depannya, ia hanya sibuk dengan pekerjaannya sambil sesekali menatapku dari balik kertas yang ditentengnya.

Aku bukannya tidak tahu, sejak tadi aku sadar dia memang selalu memperhatikanku. Entah apa yang membuatku tidak berani memulai protes. Tapi, melihat keseriusannya di depan map-map itu membuatku urung melakukannya. Aku pura-pura sibuk dengan duniaku. Sesekali hanya bersenandung samar untuk memecah kesunyian.

"Es....bisa diam sebentar?" ujarnya, mungkin mulai terganggu.

"Pak, sebenarnya bapak ada urusan apa sih nyuruh saya ke sini?" tanyaku mulai tak sabar.

"Kenapa, kamu mulai risih?" balasnya. Sekarang perhatiannya 100% beralih padaku. Semua berkas di depannya ia singkirkan, komputer ia matikan dan kaca mata yang sejak tadi setia bertengger di hidung mancungnya kini terlepas.

"Di antara dua orang anak manusia beda jenis kelamin yang bukan mahromnya itu ketiganya adalah syaiton, pak," sahutku dramatis.

"Kamu saya pindahkan ke bagian sub direktorat penyidikan," ujarnya tegas nan jelas. Ekspresinya seperti menahan ingin ke toilet. Mungkin mulai sadar dengan ucapanku.

"Hah?"

"Nggak usah lebay, Es. Kamu ngerti kan maksud saya?"

"Tapi kenapa? Kinerja saya di bagian eksekusi dan eksaminasi kurang memuaskan, buat bapak?" tanyaku sarkasme. Aku tidak terima, enak saja dia main pindah aku begitu.

"Tidak ada yang salah dengan pekerjaan kamu. Hanya saja, bagian yang lebih tinggi di atas berpendapat kalau kamu lebih cocok di bagian itu," jawabnya datar. Ya, seperti sikap dirinya pada umumnya.

"Jadi, saya bakal jadi stafnya mba Devi dong?" tanyaku ragu.

"Kamu yang jadi kepala sub direktoratnya," jawabnya sambil berjalan menuju sofa di samping kiriku.

"Trus, mba Devi ke mana?"

"Dia yang akan menggantikanmu, sebagai kepala sub direktorat TP pelanggaran HAM pada DIT eksekusi dan eksaminasi."

"Wow! Daebak! Pantas aja dia suka main ke sini selama dua hari berturut-turut," ujarku, sambil bertepuk tangan.

"Es, saya mau bicara serius sama kamu," ujarnya lebih lembut. Aku mulai curiga, entah kejutan apa lagi yang dia tunjukkan padaku. Aku ragu kalau itu adalah hal baik yang akan kudengar.

"Aaaaa...apa kamu uuuu....udah taken?" tanyanya ragu, lalu mengusap tengkuknya yang entah sama sekali tidak gatal. (Mengutip dari cerita-cerita novel).

"Hah?" aku bengong seketika. 'Taken' itu, maksudnya apa ya? Dia menghembus nafasnya dengan kasar melihat tampang idiotku.

"Maksud saya, apa kamu sudah ada yang lamar?" tanyanya lagi, kini lebih tegas. Hell! Dasar manusia es. Kalo ngomong itu dihangatin dikit kali. Kan aku bingung jawabnya apa.

"Ka...kayaknya eyang saya udah nyiapin calon buat saya!" jawabku setengah berbisik.

"Apa?" Satria mendekat, hingga tinggal 50 senti di depanku.

"Ka...kayaknya eyang saya udah nyiapin calon buat saya!" ujarku gugup setengah mati. Sial! Ada apa denganku? Rasa-rasanya, selama ini aku tidak begitu memperhatikan dia sedekat ini selama aku bekerja sebagai bawahannya. Entah bagaimana, dia mampu membuatku salah tingkah.

"Oh!" hanya itu? Ajaib. Kukira dia akan menuntut jawaban yang lebih memuaskan hatinya. Sepertinya dia lebih memilih menyerah sebelum berperang.

~~~

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang