Situasi dan kondisi ruangan ini, sungguh membuatku hampir tak mampu bernafas. Sesak semakin mendera kala eyang kakung mengatakan kalau aku akan dijodohkan dengan seorang lelaki yang sama sekali belum aku kenal. Jelas itu membuat seisi rongga dadaku seperti mendadak mengalami efusi pleura. Banyak cairan yang mendesak oksigen agar tidak bisa masuk, hingga akhirnya tinggal menghitung detik kapan aku meregang nyawa. Ah, tidak begitu juga kan? Ya, aku tahu kadang aku terlalu mendramatisir keadaan.
Tapi, sumpah demi Allah dan RasulNya, yang kuinginkan hanya mas Felix seorang. Iya, cowok yang kemarin dengan tak tahu diri, wajahnya kusentuh itu. Apa eyang kakung dan eyang putri ingin mempermainkanku? Katanya 'belum muhrim', tapi kenapa tiba-tiba ingin menjodohkanku dengan yang lain?
Ah, menyebalkan. Semakin menyebalkan saat kutatap kedua orang tuaku hanya bersikap seperti wayang golek yang selalu menuruti perintah kedua eyangku.
"Eyang, calon besan sudah ada di depan," ujar mas Yustan, kakak ketigaku. Ia berjalan masuk dari teras depan rumah eyang.
"Benarkah? Yowes, kalau begitu semua ikut ke depan. Kita harus menyambut mereka. Syalimar, sini nduk," sahut eyang putri. Lalu menggandeng lenganku. Oh, jangan lupakan bahwa Rini dan mas Abimanyu masih setia mendampingiku. Karena rencananya kami akan kembali ke Jakarta sore ini. Lalu, apa peran mereka di sini? Tentu saja sebagai pengiring do'a tabah penuh pengharapan jika aku benar-benar bernasib sial hari ini. Tapi, jika nasibku baik, boleh lah ya berharap kalau yang datang itu adalah mas Felix beserta keluarganya. Setidaknya pekerjaan Rini dan mas Abimanyu lebih bermakna, menjadi pemandu sorak.
"Assalamu'alaikum!" terdengar salam dari beberapa orang saat menaiki teras rumah eyang. Aku hanya menunduk, malas bertemu tatap dengan katanya seorang ulama muda itu. Ah, apa tadi? Baru sekitar satu bulan lalu, ia baru saja mendapatkan gelar doktornya? Keren sih alumni Universitas Kairo. Apa tidak ketuaan? Apa eyang tidak salah? Astaga, aku dijodohkan dengan om-om? Boleh tidak, aku pura-pura pingsan sekarang?
"Nduk, Syalimar. Kok nunduk terus sih? Nggak mau lihat wajah calon suaminya?" ujar ummi, memecah lamunanku. Tentu, percakapan mereka tadi tidak terlalu kuperhatikan. Kami sudah duduk di ruang tamu pun, hampir tak aku sadari.
"Males!" jawabku ketus. Baiklah, terserah kalau aku dibilang gadis bar-bar. Tapi hallo! Aku ini aparat penegak hukum, bahkan di bagian HAM. Setidaknya aku juga punya hak untuk menolak dan memutuskan sendiri hidupku. Toh aku bukan bocah TK kemaren subuh.
"Maaf ya tuan Zang, beserta keluarga. Syalimar memang agak keras kepala, bawaannnya ketus kalau ketemu orang baru. Maklum saja, dia bungsu dari saudara-saudaranya. Jadi agak manja," jelas eyang putri pada keluarga, entah siapa itu.
"Esme Syalimar As-Siddiq?" panggil suara bariton itu, suara yang tak asing lagi di telingaku. Siapa lagi kalau bukan suara mas Solikin, kakak sulungku. Yang paling tidak bisa dibantah. Aku mendengus sebentar, lalu dengan terpaksa mendongak. Memandang ke arah depan. Dan kalian tahu apa yang terjadi setelah itu? Rasanya aku ingin sekali dikubur hidup-hidup, kalau bisa ke bagian inti bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Of Ninja (Hiatus)
General FictionNiqab-an tapi kelakuan kayak preman. ~Esme Syalimar As-Siddiq binti Abu Bakar As-Siddiq~ 💖 Tatoan tapi Alhamdulillah udah jadi ulama muda. ~Ustadz Felix Zhang anaknya Jian Xi Zhang~ On going © 2017