3) GRANAT & PETASAN (Felix's Side)

1.3K 70 1
                                    

Senin ini, aku memulai pagiku mengajar untuk mahasiswa semester awal. Aku ditugaskan untuk memberikan materi-materi agama Islam dasar yang memang sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi. Sekitar pukul 12 siang dan seterusnya aku lepas. Waktu itu lah yang kugunakan untuk kembali ke rumah sebentar sebelum menemui Kiayi Abdus Somad di pesantren.

"Assalamu'alaikum!" ucapku lembut saat memasuki kantor Kiayi Abdus Somad.

"Wa'alaikumussalam," balas Kiayi Abdus Somad. "Loh, kan aki sudah bilang ketemunya di rumah saja. Padahal sebentar lagi, aki pulang," ucap beliau kaget saat melihat kehadiranku di kantornya.

"Tidak apa-apa ki. Sekalian mau nyapa yang lain. Alhamdulillah tadi sempat papasan sama ki Joko dan ki Long. Juga beberapa santri," balasku sopan.

"Ya sudah! Kalau begitu kita sama-sama saja pulang ke rumah," aku mengangguk lalu berinisiatif mengambil alih setumpuk buku kumpulan falsafah dari tangannya.

~~~

"Ngomong-ngomong, kok gus Felix masih belum hapus tatonya ya di wajah?" tanya Nyai Abdus Somad, saat aku sudah duduk berhadapan dengan kedua paruh baya yang selama sepuluh tahun ini sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri.

"Biaya hapusnya agak mahal dan rasanya lebih sakit dari dibuat, Nyai. Lagi pula, kalau pun biayanya ada, bisa terjadi kontraindikasi. Soalnya ini permanen," jawabku, sambil mengusap tato berukir naga di pelipis hingga ke alis dan hampir mendekati daerah mata kiriku. Ukurannya sebenarnya cukup kecil, mungkin jika dilihat dari jauh hanya nampak seperti goresan tipis. Setidaknya kacamata yang kukenakan sedikit bisa menyamarkannya.

"Yowes! Lagian kalau bakal nyiksa diri sendiri, lebih baik tidak usah. Nyai harap sih itu tidak mengurangi keyakinan gus Felix untuk istiqomah di jalan Allah. Meski banyak yang akan mencibir, gus harus sabar ya," ujar Nyai Abdus Somad.

"Iya, Nyai. Terimakasih atas motivasinya," jawabku.

"Oh ya, gus Felix sudah pernah ketemu sama Syalimar, ki?" tanya Nyai pada Aki.

"Belum, kan gus? Sayang sekali, padahal pas di hari kamu berkunjung seminggu lalu, dia sempat kemari," ujar Kiayi Abdus Somad.

"Tidak apa-apa, ki," balasku kikuk. Ah, ini lagi yang dibahas. Meski bibir berkata tidak, namun hati rasanya sungguh mendamba sosok itu. Entah apa yang terjadi padaku, padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya.

"Minggu depan dia akan pulang. Nyai harap, kamu juga berkunjung ke sini. Biar sekalian ketemu. Siapa tahu cocok, bisa jadi jodoh," senyum Nyai Abdus Somad merekah. Ah, rasanya seperti granat yang sudah siap menghancurkan tembok pertahananku.

Tak kusangka, tiba-tiba mataku bertemu dengan sebuah foto berukuran 8 R di atas sebuah lemari kaca setinggi pinggang orang dewasa. Di sana terdapat foto frame seorang wanita bercadar dengan kaca mata bulat dan tas punggung kekinian. Ia berpose layaknya seorang model endorse sebuah produk pakaian muslimah. Aku merasa familiar dengan sosok itu. Tapi, sayangnya aku bingung entah siapa itu.

"Oh, gus Felix mau lihat foto itu? Kalau mau, Nyai masih punya koleksi fotonya yang masih kecil dan remaja. Siapa tahu, gus Felix suka. Nggak papa, kadang kesan pertama kita jatuh hati pada seseorang itu memang berawal dari fisiknya. Jelas manusia juga ingin hal itu. Tidak munafik memang," ujar Nyai Abdus Somad.

"Tidak begitu, Nyai. Saya tidak bermaksud untuk berpikir sejauh itu," ujarku jadi tak enak hati.

"Tidak apa-apa. Nyai maupun Aki, sudah sepakat kalau kamu pasti akan jadi imam yang baik untuk gadis itu. Mungkin, gus Felix agak merasa ragu. Karena sebenarnya, dia sedikit susah diatur. Tapi, Nyai harap kamu mau mempertimbangkannya," ujar beliau lagi. Aku tak sanggup menolak, akhirnya kuturuti keinginan Nyai. Beliau menunjukkan foto masa kecil sampai usia remaja cucunya itu. Aku terkesima melihat wajah manis seorang gadis remaja berseragam SMA negeri, alih-alih seragam pesantren. Ternyata dia sudah mengenakan kacamata bulat itu sejak SMA. Di potret itu, nampak tidak ada sama sekali rasa canggung dari raut wajahnya. Ia begitu percaya diri berpose di depan kamera.

Satu lagi, entah ini saat dia masih SMA atau sudah lulus. Tapi dari wajahnya dapat kutebak kalau yang ini usianya sudah lebih dewasa. "Itu foto dia saat masih kuliah S1," ujar Nyai. Mendengar penjelasan itu, aku tersenyum salah tingkah. Apakah Nyai menyadari kalau aku mengagumi kecantikan cucunya itu? Ah, aku bisa gila.

"Tidak apa-apa, gus. Nyai mengerti. Nanti, kalau Syalimar sudah pulang, kami akan diskusikan ini dengannya. Kalau dia setuju, kamu boleh melihat wajahnya secara langsung. Bagaimana?" tanya Nyai. Entah bagaimana beberapa 'petasan' seakan tiba-tiba meletup-letup di dadaku. Ya Allah, ampuni aku.

Ini tidak baik untuk kesehatan mata, psikis dan juga jantungku. Aku ragu, malam ini aku bisa tidur nyenyak. Arghhh! A'udzubillahiminasyaitonirrojim!

~~~

Benar saja, semenjak aku pulang dari pesantren, tepatnya malam ini aku jadi tidak bisa berpikir jernih. Rasa kantukku tenggelam ditekan oleh rasa penasaran yang luar biasa membuncah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu agar cepat mengantuk.

Kuputuskan untuk membaca surah Al Mulk, yang memang sudah lama aku hafalkan. Saat mengakhiri kalimat, aku mulai merasakan kantuk yang teramat dalam. Segera aku lepaskan peci dan sarungku, lalu segera merebahkan diri ke kasur.

Bismillahirrahmanirrahim! Semoga aku bisa tidur nyenyak, batinku.

~~~

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang