26) FAKTA (Esme's Side)

457 41 0
                                    

Aku terkikik geli mengingat penampilan Mas Felix yang kubuat sangat berbeda dari biasanya. Walau sedikit nggak tega, tapi aku lebih senang kalau keinginanku terwujud. Sejak beberapa waktu sebelum aku hamil, sempat ada kepikiran bagaimana soal penampilannya jika dirubah seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dari biasanya. Aku benar-benar penasaran ingin melihatnya. Namun sayang, aku nggak punya alasan yang bisa bikin dia menurut. Lagian, waktu awal-awal kan, kami masih sama-sama malu-malu meong.

"Sudah sampai, Mbak." Suara supir taksi menyentak lamunanku. Aku bergegas membayar tagihan sebelum keluar dan masuk ke area kampus tempat Mas Felix mengajar. Kampus yang dulu juga pernah menjadi tempatku menimba ilmu untuk mendapat gelar sarjana hukum.

Di depan gerbang, aku sempat berpapasan dengan beberapa orang mahasiswa, ketika sudah masuk area dalam kampus pun sama. Mereka yang mungkin mengenalku sempat menyapa sekilas sambil memberikan lambaian tangan atau sekedar senyum ramah. Aku membalas perlakuan mereka juga tak kalah ramahnya.

Namun, saat memasuki area fakultas ilmu pendidikan dan keguruan, aku melihat tatapan yang berbeda dari sebagian besar mahasiswa. Mereka tampak bebisik-bisik tentang hal yang tak aku mengerti. Hingga saat salah satu mereka tiba-tiba menghampiriku, "Ukhti, Ukhti Syalimar yang sabar, ya. Allah selalu ada untuk mereka yang terdzolimi." Ya Salam! Apa maksudnya?

Aku hanya nyengir dari balik cadarku. Lalu mengangguk tanda mengerti. Walau sebenarnya aku juga tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Mengabaikan tatapan dan bisikan aneh para mahasiswa, aku memilih mempercepat langkah menuju ruangan Mas Felix. Namun, sebelum matanya menangkap kehadiranku, aku lebih cepat melangkah mundur kembali ke anak tangga beberapa buah ke bawah.

Di sana, aku melihat Mas Felix sedang berbincang dengan seorang perempuan di depan pintu ruangan dosen program studi S1 Ilmu dan Pendidikan Agama Islam. Aku tidak bisa melihat wajah si perempuan. Tapi sangat jelas wajah Mas Felix tampak datar--tak ada senyuman saat bicara pada perempuan di depannya. Dalam benak, aku rekam bagaimana penampilan si perempuan dari posisi ia yang membelakangiku. Dia mengenakan kerudung segiempat berwarna coklat muda dengan atasan kemeja berwarna krim dan celana panjang berwarna hitam.

Beberapa menit berlalu, hingga si perempuan berbalik dengan wajah pias jelas tampak terlihat. Hingga jaraknya dua meter di depanku, aku berpura-pura sedang menaiki tangga menuju lantai dua gedung ini. Kami sempat saling berbalas tatap. Namun, dia lebih dulu memutus kontak dan pergi begitu saja. Dari yang kulihat, dia sepertinya nggak mengenalku. Mungkin dia adalah mahasiswa baru, dan kami berbeda program studi.

"DOR!" aku sengaja mengagetkan sosok lelaki itu. Mas Felix-- suamiku ini sepertinya sedang melamun.

"Lailahailallah! Syalimar. Kamu bukannya ngasih salam dulu, malah sengaja ngagetin gitu." Serunya, tampak kesal.

"He......maaf. Lagian, Mas kok kayak bengong gitu. Lagi mikirin apa, sih?" Tanyaku dengan tatapan mata menyelidik.

"Bukan apa-apa. Trus kamu ngapain di sini? Bukannya katanya kamu ngajar, ya?"

"Iya, sebentar lagi. Syasya mau ketemu Mas Felix dulu. Mau ngecek dandanannya apa masih kayak tadi atau udah berubah. Kan, Syasya masih pengen liat Mas Felix kayak gini. Ingat ya, pokoknya sampai pulang Mas Felix nggak boleh ngubah penampilan sendiri. Tentunya dengan persetujuan Syasya." Ancamku penuh penekanan.

Dia mengangguk sambil tersenyum manis. Allahuakbar! Manis binggo.

Plak!

"Aw! Sakit, Sya. Kenapa pipi Mas digeplak?" Keluhnya, setelah aku menggeplak pipinya.

"Siapa suruh senyum-senyum gitu?" Protesku. Padahal dia tahu sekali aku paling tidak suka jika dia tersenyum terlalu manis. Apalagi kalau di tempat umum seperti ini.

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang