15) DIARE (Felix's Side)

1.1K 44 0
                                    

Tidak terasa, usia pernikahan kami sudah satu bulan. Semenjak aku dan Syalimar pulang dari Beijing, kami harus terpaksa tinggal di rumah yang terpisah. Sudah sebulan ini juga, mama jadi orang tua yang cerewet menceramahi kami berdua. Terutama soal siapa yang harus mengalah pindah tugas. Awalnya Syalimar sudah mengajukan diri untuk pindah ke kantor kejaksaan negeri Jogjakarta. Tapi, aku mengatakan padanya tidak perlu terburu-buru. Walau tak enak hati, dia menurut saja.

Mama sempat mengatakan, akan lebih baik Syalimar resign dari pekerjaannya. Kemudian ikut tinggal di rumahku di Jogja. Tapi, aku tidak membenarkan hal itu. Lagi pula, aku masih bisa ke Jakarta sekali dalam sepekan.

Alhamdulillah, semenjak Syalimar sah menjadi istriku, dia pindah ke rumah mama dan tidur di kamarku. Sampai saat ini pun, pekerjaan kami lancar-lancar saja. Tapi, bohong juga kalau dibilang tidak rindu. Walau kami sering berbalas pesan, saling menanyakan kabar. Namun, tidak jarang salah satu di antara kami ada yang merasa kurang.

"Mas, kenapa diam?" tanya Syalimar, seketika membuyarkan lamunanku. Kemujuran, hari ini adalah hari Sabtu. Aku sedang tidak ada jadwal mengajar di kampus maupun di pesantren. Jadi punya waktu dua hari untuk mencurahkan rasa rindu yang sudah menggunung ini.

"Nggak apa-apa." Sahutku, kemudian mengecup keningnya dalam.

"Mas, Syasya resign aja ya." Ucapnya.

"Loh, kok tiba-tiba?"

"Pengen aja. Abisnya, nahan kangen sama mas itu ternyata berat. Milea nggak sanggup."

"Kamu ini, ya. Mas bukan Dilan, sayang." Balasku, kemudian terkekeh sembari menjepit hidung mungilnya. Istriku ini benar-benar menggemaskan.

"Maaaas, sakit hidungnya Syasya. Jangan dijepit, nanti kemancungan."

"Tulang hidung emang elastis, tapi nggak sampai segitunya kali." Ejekku.

"Iya deh, pak dosen. Maunya yang realistis terus. Nggak bisa diajak gombal-gombalan."

"Nggak perlu modal gombal untuk memilikimu. Cukup dengan cinta yang dibuktikan oleh sikap dan perhatian dari mas, itu sudah cukup buat kamu. Belum digombalin juga, kamu sudah baper." Tuh, kan. Baru saja aku berucap seperti itu. Dia sudah tersipu begitu.

"Widiiiiiih, yang berasa dunia milik berdua. Pantesan nggak denger mama manggil. Taunya lagi pacaran di taman belakang." Celetuk Reina, adik pertamaku.

"Eh, ce Reina. Loh, mama manggil kita?" tanya Syalimar gelagapan.

"Iiiiiiya.....nggak. Aku becanda kok." Balas Reina lagi. Kemudian terkekeh.

"Ngapaian ke sini? Mengganggu saja." Ujarku pura-pura kesal, bermaksud mengusir adik tercintaku itu.

"Nggak, aku cuma mau cari angin segar. Trus nggak sengaja lihat kalian berdua. Lagian, emang cuma kalian yang boleh nyantai di sini? Aku kan juga punya hak." Protesnya dengan ekspresi cemberut.

"Mas, udah. Ce Reina, kita berdua masuk dulu, ya. Permisi."

"Apa sih, Sya? Kita kan sudah di sini dari tadi. Kenapa kita yang harus pergi?"

"Mas, Syasya mual."

"Loh, kamu mual? Kenapa nggak bilang dari tadi?"

"Kerasa bangetnya baru sekarang, mas. Tadi masih bisa ditahan."

"Kita ke dokter, ya?"

"Nggak perlu. Mungkin Syasya cuma butuh istirahat aja. Dibawa tidur sebentar pasti mendingan. Sekalian nunggu adzan Ashar."

"Ya sudah, kita masuk ke dalam sekarang. Rei, koko peringatin kamu ya jangan becanda seperti tadi lagi." Peringatku pada Reina. Sedangkan gadis itu hanya acuh dan justru tak segan memeletkan lidahnya ke arahku.

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang