"Ma, apa rencana mama sebenarnya?" tanyaku, berusaha menahan diri agar tidak berteriak.
"Rencana apa? Maksud kamu apa sih, sayang?"
"Fan, kamu apain mama sampai beliau masih mau nerima kamu di rumah ini?"
"Felix, kamu ngomong apa sih? Jelaslah tante masih nerima aku. Kan dulu aku nggak sepenuhnya ninggalin kamu. Aku bilang, aku mau menyelesaikan pendidikanku dulu. Harusnya kamu nunggu aku sampai lulus. Habis itu baru kamu bisa lamar aku secara resmi," hah? Apa aku tidak salah dengar tadi? Benar-benar tidak bisa kumengerti. Aku rasa dia sudah lupa, bagaimana dia meninggalkan aku waktu itu. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia menghilang begitu saja. Dan sekarang dia mengatakan bahwa dia pergi karena ingin menyelesaikan studinya? Memangnya selama ini dia ke mana?
"Permisi, selamat sore?" suara seseorang menginterupsi niatku untuk membalas ucapan Fan.
"Eh, calon besan. Silakan masuk, wah baru jam empat loh, udah datang aja. Ayo, silakan duduk dulu," mama berseru, menyambut kedatangan calon mertuaku. Dengan sekejap pula raut wajahku berubah menjadi lebih ramah. Aku tidak mungkin memasang wajah kesal di depan mereka. Bisa jadi aku batal menjadi menantu mereka. Kucium tangan calon ayah mertuaku. Lalu tersenyum pada istrinya. Kami duduk bersebrangan di sofa ruang tamu.
"Wah, ternyata gus Felix sudah datang toh. Katanya kan besok, sekalian buat fitting baju pengantin sama Syalimar," ujar umi Aminah, uminya Syalimar.
"Ah, itu...." aku tersenyum kikuk. Bingung mau menjawab apa. Namun memandang datar pada Fan yang tampak lebih pendiam. Sekarang aku yakin, mama pasti belum mengatakan apapun padanya tentang rencana pernikahanku dengan Syalimar.
"Mungkin dia sudah tidak sabar lagi jeng. Lagian, besok itu kan hari Sabtu. Biasanya dia nggak masuk ngajar, makanya lebih milih pulang ke Jakarta lebih cepat," ucap mama, menyelamatkan keterlambatanku menanggapi pertanyaan umi Aminah.
"Oh, gitu toh. Iya sih, kebetulan juga Syalimar besok libur. Makanya saya minta dia untuk segera melakukan fitting baju pengantin. Kan waktu akad tinggal tiga minggu lagi.
"Mau kemana Fan? Duduk aja sini, ikut ngobrol sama kita," ucap mama dengan ekspresi sulit kubaca. Sepertinya mama menyimpan sesuatu dariku. Tapi, sepertinya aku tahu tentang itu. Mama sengaja membuat Fan marah, dengan membuktikan langsung di depan matanya kalau aku memang benar akan menikah di waktu dekat.
Kulihat, Fan tampak tak nyaman dengan situasi ini. Kasian juga melihatnya. Sekarang aku tahu, mama bukan ingin menjodohkanku lagi dengannya. Namun, sepertinya mama mau membalas perbuatannya sepuluh tahun silam. Saat di mana, dia menghilang tanpa jejak saat di hari pertunangan kami.
Dulu kami dijodohkan. Padahal, kami hanya sebatas sahabat. Namun, ternyata orang tua kami sudah sepakat sejak kami dilahirkan. Aku ingin menolak, mereka tetap memaksa. Begitu juga dengan Fan. Hanya saja, saat itu kehormatan keluargaku yang menjadi taruhannya, aku benar-benar kecewa dengan tindakannya. Pengecut, kalau bolehku katakan. Namun, di sisi lain, aku juga merasa lega. Setidaknya aku tidak jadi bertunangan dengan gadis yang tidak pernah sama sekali masuk di dalam peta masa depanku yang berperan lebih dari sekedar sahabat.
"Assalamu'alaikum," nah, itu dia. Sosok yang mama dan calon mertuaku bicarakan.
"Wa'alaikumussalam," jawabku, umi Aminah dan abi Abu Bakar.
"Selamat sore semuanya," ujar gadis bergamis coklat tua. Ia tampak tersenyum di balik cadarnya.
"Maaf baru masuk, tadi lagi nerima telepon dulu dari temen kantor, di depan. Gimana kabar mama, sehat?" tanya Syalimar sambil mengecup punggung tangan mama.
"Puji Tuhan! Mama sehat, nak. Kamu?" tanya mama balik.
"Alhamdulillah, meski agak capek. Soalnya tadi habis pulang kerja, mampir ke kontrakan sebentar buat ganti baju, trus ikut ke sini deh. Loh, papa mana, ma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Of Ninja (Hiatus)
General FictionNiqab-an tapi kelakuan kayak preman. ~Esme Syalimar As-Siddiq binti Abu Bakar As-Siddiq~ 💖 Tatoan tapi Alhamdulillah udah jadi ulama muda. ~Ustadz Felix Zhang anaknya Jian Xi Zhang~ On going © 2017