Hallo! Apa kabar? Nunggunya lama, ya?
Iyup! Aku juga bingung gimana ngelanjutinnya. Klasik! Sama kayak author lainnya. Masalah ide yang nggak selalu muncul setiap saat.But, just enjoy it.
Aku duduk di samping Syalimar dengan pandangan mata tertunduk. Dapat kurasakan sentuhan lembut Syalimar di atas punggung tanganku yang kuletakkan di atas meja. Sedangkan telingaku masih fokus mendengarkan ungkapan penyesalan dari seorang mahasiswi yang beberapa hari belakangan ini mengusik ketentramanku.
"Maaf, Ustadz. Saya bersalah." Ujarnya mengakhiri kalimat.
Aku menghembuskan nafas perlahan sebelum menanggapinya.
"Kalau tidak mengingat Ustadz Rizky adalah sahabat saya, mungkin sejak awal saya sudah melaporkan kamu padanya. Tapi, karena sepertinya hal itu terkesan terlalu kekanakan, saya memutuskan untuk tidak melibatkan dia." Balasku. Sedetik kemudian aku menoleh ke arah Syalimar. Ia tampak tersenyum begitu manis dan mengangguk setuju akan keputusanku.
"Terimakasih banyak Ustadz Felix. Saya berjanji tidak akan bebuat hal konyol seperti itu lagi. Saya kapok. Apalagi, kemarin-kemarin banyak teman yang mengucilkan saya. Mungkin saya memang sudah sangat keterlaluan. Mohon maaf sekali lagi. Saya benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi." Balasnya dengan wajah tertunduk.
"Ya, saya maafkan." Jawabku mantab. Kurasakan tepukan lembut di lengan atasku yang begitu menenangkan. Aku mengerti, Syalimar sedang memberiku pujian secara tersirat.
Percakapan kami terhenti saat makanan pesananku dan Syalimar datang. Syalimar sempat menawarkan untuk makan bareng, hanya saja Chacha menolaknya dengan halus. Katanya dia takut mengganggu kami. Ya, betul sekali. Lagi pula keberadaannya memang cukup mengganggu bagiku. Karena aku hanya ingin makan berdua saja dengan Syalimar.
"Kalau begitu saya permisi, pamit pulang lebih dulu, Ustadz dan Ustadzah. Assalamu'alaikum!" Ucapnya sembari berdiri dari kursinya.
"Wa'alaikumussalam!" Balasku dan Syalimar berbarengan.
"Hati-hati di jalan ya, Cha. Bawa kendaraannya pelan-pelan aja. Jangan ngebut." Titah Syalimar terdengar lembut.
"Tentu, Ustadzah. Saya permisi. Mari!" Aku dan Syalimar mengangguk. Sebelum gadis itu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar kantin.
"Anaknya sopan loh, ternyata. Mas Felix jangan sensian gitu dong. Dia kan udah minta maaf." Celetuk Syalimar saat aku tengah mengunyah sayur nangka.
"Kapan Mas sensian sama dia? Perasaan tadi Mas biasa aja."
"Itu, mukanya masih ditekuk aja. Kasian kan dia, pulangnya masih dengan hati yang berantakan." Balasnya sebelum menyuap sesendok nasi plus ikan nila lalapan miliknya.
"Trus Mas musti gimana? Kalau Mas senyumin dia, nanti malah kamu yang sensi sama Mas." Ujarku sewot. Meski masih dalam volume suara yang pelan. Oh Allah, ini kenapa aku yang malah emosi, sih?
"Hiks! Mas kok ngegas pol, sih? Syasya kan nggak ngajak berantem." Sahutnya tertunduk lesu. Duh! Salah lagi aku.
"Kamu kenapa sih, Sayang? Perasaan, kamu deh, yang makin sensitif belakangan ini."
"Nggak tau. Pikirin aja sendiri. Udah ah, Mas Felix mah nggak peka."
Tak ada lagi percakapan. Namun aku dapat melihat kekesalan Syalimar yang tak terbantahkan. Bahkan dia tak mau repot-repot menyahut perkataanku saat kutawarkan ingin ke mana dulu sebelum pulang ke rumah. Karena tak ada tanggapan sama sekali, kuputuskan untuk pulang saja setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Of Ninja (Hiatus)
General FictionNiqab-an tapi kelakuan kayak preman. ~Esme Syalimar As-Siddiq binti Abu Bakar As-Siddiq~ 💖 Tatoan tapi Alhamdulillah udah jadi ulama muda. ~Ustadz Felix Zhang anaknya Jian Xi Zhang~ On going © 2017