17) PNS vs. WIRASWASTA (Felix's Side)

908 43 0
                                    

Betapa aku tidak ingin meninggalkan istriku. Dia merengek agar aku memperpanjang masa cuti. Oh ayolah, suami mana yang tega meninggalkan istrinya untuk bekerja beberapa hari di kota lain. Kecuali kalau lelaki itu tidak benar-benar mencintai istrinya.

Menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, setidaknya punya sensasi tersendiri bagiku. Mungkin seperti yang selalu aku pikir, LDR adalah solusi antimainstream untuk menumbuhkan rasa rindu yang menggunung. Ketika kembali bertemu, rasanya perasaan cinta yang ada menjadi semakin mendalam.

Aku sadar itu bukan kehendak kami berdua. Tidak juga pernah terpikirkan olehku. Yang aku tahu, dulu ketika untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di pesantren kiayi Abdus Somad, itu semata-mata karena aku hanya ingin belajar tentang Islam lebih dalam. Aku sendiri tidak menyangka, bisa menemukan jodohku di sana. Bahkan yang lebih tak terduga lagi, perempuan yang aku nikhi adalah cucu dari kiayi Abdus Somad sendiri, yang aku rasa belum pernah aku temui. Gadis itu betul-betul berbeda. Selalu penuh dengan kejutan.

Ingat dulu ketika awal kami bertemu, saat dia menyentuh wajahku dengan tangan mungilnya yang halus dan lembut itu. Aku merasa seperti disengat aliran listrik sebesar 3600 volt. Seluruh tubuhku bergetar. Dan anehnya terasa membeku, hingga tak sanggup untuk menolak. Itulah sebabnya saat itu aku hanya terdiam, terpaku dengan mata indahnya yang tampak bening. MasyaAllah, baiklah. Katakan kalau saat itu aku khilaf. Aku bersyukur saat itu nyai Abdus Somad langsung melerai kami berdua. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi berikutnya.

Tok tok tok
Terdengar ketukan pintu dari luar. Terlihat sebuah kepala menyembul dari balik pintu ruangan dosen program studi Pendidikan Agama Islam, tempat di mana saat ini aku duduk.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Jawabku, lalu kembali fokus pada pekerjaan mengoreksi hasil tugas kelompok mahasiswa-mahasiswaku.

"Emmm....permisi ustadz Felix, saya mau tanya apakah ustadzah Mely sudah kembali dari acara seminar di Jakarta?" Tanya seorang mahasiswi semester akhir yang seingatku adalah mahasiswi bimbingan ustadzah Mely.

"Bukannya kamu sudah memiliki nomor kontak ustadzah Mely? Kenapa tidak tanya langsung dengan beliau?" Tanyaku dengan eskpresi datar, saat menatap ke arahnya. Iya, inilah salah satu kebiasaanku. Atau lebih tepatnya, sebuah imej yang sudah melekat padaku jika bicara pada wanita yang bukan mahromku.

Hanya di beberapa kesempatan saja jika aku ingin tersenyum ke arah mereka. Alasannya jelas, aku tidak ingin mengundang kesalahpahaman dari mereka. Karena aku tahu betul, kaum akhwat tidak bisa diajak beramah tamah, apalagi diakrabi. Jika itu terjadi, maka dapat dipastikan mereka pasti akan mengira ikhwan tersebut menyukainya. Padahal tidak. Oleh sebab itu, sejak awal aku sudah membentuk imej kaku dan dingin jika menyangkut urusan dengan mereka.

"Sudah saya hubungi, ustadz. Dari mengirim pesan via WA. Tapi hanya di read oleh beliau. Saat saya telefon, malah langsung dirijek." Jawabnya.

"Memangnya kapan kamu menghubungi beliau?" Tanyaku lagi, masih tetap fokus dengan pekerjaanku. Aku tidak ingin terlalu terpaku dengan percakapan ini.

"Tadi pagi Pak." Jawabnya.

"Pukul berapa?" Tanyaku lagi.

"Pukul enam pagi." Jawabnya. Aku mendelik ke arahnya sekilas, lalu menghembus nafas pelan. Aku tahu dia mengerti maksudku. Pukul segitu para wanita masih sibuk dengan pekerjaan di dapur. Apalagi jika sudah berumah tangga. Meskipun aku dengar, ustadzah Mely sudah pulang kemarin. Seharusnya sudah bisa masuk untuk mengajar, hari ini.

"Hanya itu? Lalu sebelum kamu ke sini apa kamu menghubungi beliau lagi?" Tanyaku.

"Tidak!" Jawabnya, lalu tersenyum kikuk. "Saya pikir, jika saya datangi secara langsung mungkin saya bisa bertemu beliau di ruangan. Tapi, sepertinya saya keliru." Ujarnya sambil menggaruk tengkuk yang mungkin saja sebenarnya tidak gatal.

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang