28) DEBAD UNFAEDAH (Esme's Side)

488 29 4
                                    

Waktu terus berjalan, satu hari telah terlewati. Hari kedua aku mengajar, suasana kampus tampak lebih kondusif. Tidak ada lagi desas desus tak mengenakan untuk didengar oleh telinga, pun tak ada jua senyum prihatin yang tak nyaman untuk dilihat oleh mata. Semua telah kembali normal.

"Ustadzah Syalimar!" Panggil seseorang dari arah belakang. Sontak aku menghentikan langkah dan berbalik menghadap orang tersebut.

"Oh, Chacha. Ada apa?" Tanyaku dengan kening berkerut samar. Beberapa menit yang lalu aku baru saja meninggalkan kelas gadis itu, kelas terakhir yang aku masuki hari ini. Sebagai penutup sebelum masuk libur natal dan tahun baru.

Sejenak kuperhatikan, gadis itu tersenyum sekilas sembari menggaruk tengkuknya. Entah beneran gatal atau hanya sebatas gestur pengalih rasa gugup.

Ia berdehem sebelum membalas ucapanku.

"Ustadzah Syalimar masih ada kelas setelah ini?" Tanyanya balik.

"Tidak ada lagi. Kelasmu adalah kelas terakhir yang saya ampu." Jawabku, dengan senyum ramah dari balik cadarku.

"Apa Ustadzah mau langsung pulang sekarang?"

"Emmm....sebenarnya saya sedang menunggu suami saya selesai mengajar. Sambil menunggu, rencananya saya mau ke kantin. Selain itu, saya dan suami berencana singgah ke pondok pesantren dulu sebelum pulang ke rumah kami." Balasku lagi.

"Apa saya boleh minta waktu Ustadzah sebentar? Mungkin sekitar lima menit." Pintanya tampak memelas.

"Tentu! Masih ada banyak waktu jika kamu ingin mengobrol dengan saya. Lebih dari lima menit pun boleh. Sepuluh atau lima belas menit." Jawabku spontan. Sebab aku memang harus menunggu Mas Felix dulu. Mungkin sekitar satu jam lagi, dia baru selesai mengajar. Karena kami tadi berangkat ke kampus bersama-sama. Aku malas naik kendaraan umum.

Chacha tampak tersenyum sumringah, lalu segera mengajakku ke kantin fakultas.

"Sebelumnya, saya mau ngucapin terimakasih banyak karena Ustadzah sudah mau meluangkan waktunya untuk saya. Mungkin ini permintaan yang sedikit konyol, tapi saya sangat berharap Ustadzah bisa mempertimbangkannya." Mulainya.

"Iya, sama-sama. Lagi pula, saya memang tidak keberatan mengobrol sama kamu. Sembari menunggu suami saya selesai mengajar." Balasku.

Chacha tersenyum tipis, lalu mengangguk sopan.

"Sebenarnya bukan hal yang khusus, sih. Tapi, kalau boleh apa Ustadzah bersedia berteman dengan saya?" Chacha menjeda kalimatnya, untuk menghirup udara lebih banyak sebelum melanjutkan. "Terlepas dari permasalahan kemarin. Saya sadar, mungkin saya terkesan tidak tahu diri. Tapi, saya bersungguh-sungguh ingin berteman dengan Ustadzah. Karena semenjak kemarin, saya merasa cukup nyaman di dekat Ustadzah. Ustadzah Syalimar orangnya baik, ramah, dan tentunya pemaaf. Mungkin terlalu dini untuk saya menilai tentang Ustdzah. Tapi, entah kenapa saya merasa yakin saja."

Uh, boleh aku jingkrak-jingkrak nggak, sekarang? Sumpah, rasanya tersanjung banget dinilai positif oleh orang lain. Apalagi sama orang yang baru dikenal.

Please deh, Sya. Jangan kayak orang kidu. Alias katro.

"Haha, kamu bisa ae. Lagian, udah jadi kewajiban seorang muslim mau memaafkan kesalahan muslim lainnya. Yang penting, kamu dan saya sama-sama ikhlas saling memaafkan. Insya Allah, Allah kasih pahala yang sepadan." Balasku lembut.

"Aamiin. Makasih, Ustadzah. Jadi, gimana sama permintaan saya tadi?" Ulangnya, dengan binar mata penuh harap.

Aku mengangguk, sebelum berucap. "Ya, kita bisa berteman." Aku menggenggam kedua telapak tangannya yang memang dia letakkan di atas meja. Sebagai gesture penerimaan. Ia tersenyum bahagia menyambutnya.

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang