10) SEGITIGA (Esmes's Side)

808 52 0
                                    

Pagi yang cerah untuk melakukan aktivitas kantorku. Apalagi bagi beberapa orang rekan laki-laki yang saat ini sedang fokus menatap pada satu subjek di depan mimbar aula kejaksaan. Hawa panas di luar pun tak dirasa lagi oleh karena sejuknya pemandangan indah di depan sana. Ya, di sana sedang berdiri seorang wanita berseragam jaksa dengan wajah khas negeri tirai bambu. Mata minimalis bak bulan sabit, muka kayak vampire, hidung bagai perosotan, rambut seperti sapu ijuk. Eh!?

Sesekali ia memamerkan senyum saat bicara tentang beberapa lelucon untuk mengurangi ketegangan seisi ruangan. Maklum saja, beberapa orang petinggi juga hadir dalam acara ini. Sebenarnya siapa namanya? Entahlah, yang kutahu dia hanya seorang jaksa penuntut yang ikut nyelip di antara sususan acara. Hari ini memang diadakan rapat terbuka untuk membahas kinerja setiap direktorat hingga divisi, yang dilaksanakan setiap satu kali per enam bulan.

Kupikir setelah moderator menutup acara diskusi, kami akan segera keluar dari ruangan ini. Tapi, MC menginterupsi pergerakan kami. Katanya ada beberapa orang yang ingin memperkenalkan diri sebagai anggota baru di Kejaksaan Agung, termasuk wanita di depan sana. Kalau nggak salah sih pindahan dari kantor kejaksaan negeri Manado.

"Cantik sih, makanya banyak yang salah fokus," komentar mba Gangga di sebelah kiriku.

"Ah, biasa aja kali. Lagian mah, di Jakarta banyak kok yang begitu," sanggah mba Devi sambil tersenyum sinis.

"Nggak usah nyinyir. Bilang aja situ sirik," timpal mas Krishna.

"Bah, ngajak ribut nih bocah," ujar mba Devi geram.

"Lah, emang kenyataannya kan. Situ merasa tersaingi," balas mas Krishna.

"Hahaha....tunggu saya dekat pintu direktorat kita," ujar mba Devi sambil bersedekap di depan dada. Gaya menantang.

"Mau ngapain?"

"Ada deh. Kalau saya kasih tahu bukan sureprize dong namanya."

"Lah ultah saya udah lewat. Dalam rangka apa ngasih saya kejutan?"

"Apa aja kek. Terserah saya."

"Ngawur!"

"Biarin!" nah gitu tuh. Sejak pertama kali mba Devi gantiin aku di bagian direktorat eksekusi dan eksaminasi, dia mulai nggak mau akur sama mas Krishna. Nggak tahu juga masalah mereka berdua apa. Yang kutahu, kalau mereka udah ditempatin di lingkungan atau area yang sama, mereka pasti ribut. Udah kayak Jalaludin Akbar sama Jodha waktu awal ketemu. Lama-lama begitu, ujungnya paling akur pas di pelaminan. Ahahahah.....

"Mau ke mana?" tanya mba Gangga, satu-satunya orang yang sadar aku mau beranjak dari ruangan ini.

"Keluar duluan mba. Umi telepon," jawabku cepat. Soalnya aku harus segera mengangkat panggilan telepon dari umi.

"Oke. Kalau udah, nggak usah balik ke sini lagi. Paling pidato si mata sipit bentar lagi kelar."

Aku mengangguk, kemudian bergegas keluar melalui pintu terdekat yang bisa kuraih. Sementara itu ponselku sudah kuletakkan di telinga setelah kugeser bundaran hijau di bagian kiri layar ponsel.

"Assalamu'alaiku. Ada apa umi?" tanyaku to the point. Tahu lah, aku ini nggak terlalu suka bertele-tele. Kecuali lagi ada maunya.

"Wa'alaikumussalam. Lagi sibuk, Sya? Umi ganggu kamu kerja ya?"

"Nggak kok mi. Ini udah selesai rapat, Syasya udah keluar dari aula."

"Oh gitu. Gini, umi sama abi berencana mau nyusul kamu ke Jakarta. Sekalian bersilaturahmi ke rumah calon mertuamu, sekalian mau bahas soal konsep pernikahan kamu sama gus Felix. Kira-kira sore kami baru sampai. Kamu mau ikut nanti? Sekalian aja setelah pulang kerja."

The Queen Of Ninja (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang