Pertama kali dalam sejarah hidupnya, Syasya berjengkit untuk menyamai tinggi badannya dengan mas Felix. Tapi, percuma saja. Mau bagaimanapun, aku jauh kalah tinggi darinya. Saat ini kami sedang berselfie ria di salah satu tempat wisata terkenal di Beijing. Apa lagi kalau bukan tembok besar China. Bukan tanpa alasan akhirnya kami memilih berlibur ke sini. Soalnya, mas Felix mau ngenalin aku sama kerabat dia yang ada di sini. Yup, ternyata mas Felix masih punya keluarga jauh di negara ini. Aku sendiri baru tahu, setelah dikasih tahu sama mama Tiffany, saat sehari setelah acara resepsi di Jakarta.
"Maaas, ih kok badannya tinggi banget sih? Syasya kan jadi keliatan kecil kalau berdiri di samping mas," keluhku saat mas Felix dengan sengaja mengarahkan kamera ponselnya cukup jauh dari wajah kami. Mukaku makin buram karena tangannya yang panjang itu menenteng ponselnya dengan jarak yang bisa dibilang lebih banyak menampakkan pemandangan indah di belakang kami.
"Siapa suruh, pendek," sahutnya jahil.
"Iiih, mas rese banget sih. Syasya bete nih, Syasya ngambek. Nggak ada jatah buat malam ini," ujarku. Kemudian berjalan menaiki anak tangga yang entah kapan akan membawa kami sampai ke puncak tembok berundak terpanjang di dunia ini.
"Yah, jangan ngambek dong. Nanti mas nggak bisa tidur kalau nggak meluk kamu," ujarnya memelas. Tahu aja kalau udah gini. Makanya jangan berani macam-macam sama aku. Masalahnya, sejak kami dinyatakan sah, mas Felix belum sempat nyentuh aku lebih dari sekedar ciuman atau pelukan. Soalnya setiap kali mau ngelakuin lebih dari itu, ada aja halangannya. Apalagi waktu nginep di rumah orang tuanya mas Felix.
Kebanyakan waktunya, mas Felix habisin buat ngumpul-ngumpul dengan keluarga besar mama sama papa sambil ngobrol ngarul ngidul sampai lupa waktu. Akhirnya pas udah masuk kamar, langsung tidur aja. Aku sih nggak masalah. Tapi, kadang mas Felix bisa menggerutu sendiri kalau lagi berdua sama aku. Mau nggak ikut ngumpul, nanti dibilang nggak sopan sama yang lain. Akhirnya kita mutusin buat pergi honeymoon aja. Biar ada waktu untuk berdua.
"Jangan gitu dong, sayang. Oke deh, sini deket-deket mas," ujarnya. Lalu kemudian memanggil seorang wisatawan lain yang kebetulan berada dekat dengannya untuk mengambil gambar kami berdua.
"Okay, say cheese!" ujar orang itu. Lalu kami berpose ala masing-masing. Mas Felix yang berdiri dengan gaya kakunya. Dan aku yang sengaja mencuri kesempatan dengan mencium pipinya setelah dengan susah payah memanjat di tubuhnya. Ugggh.....hebat juga aku ternyata. Nggak sia-sia dulu aku suka ikut lomba panjat pinang di acara tujuh belas-an.
"Masyaallah, kelakuanmu ya," ujar mas Felix speacchless. Nah, kaget kan sama kelakuanku yang satu ini. Aku hanya cengengesan menanggapinya. Nggak guna juga kalau aku mendebat dia. Toh, aku pasti kalah.
"Thanks, bro!" seruku pada lelaki yang kami mintai bantuan tadi. Haha, mukanya sampai pias gitu. Pasti ilfil sama kelakuanku barusan. Bodo amat lah.
"Ayo naik lagi," ajak mas Felix.
"Nggak ah. Capek!" balasku, kemudian duduk di atas tembok pembatas.
"Nanggung ini, tinggal dikit lagi kok. Katanya mau sampai ke ujung."
"Nggak ah, mas aja sendiri. Syasya tunggu di sini aja," tolakku. Tanpa kuduga mas Felix berjongkok dan menyodorkan punggungnya di depanku. "Ngapain, mas?"
"Naik, cepetan. Katanya capek. Biar cepet, naik ke punggung mas," ujarnya.
"Eh! Nggak usak sok pahlawan deh, mas. Ini bukan film Chennai Express. Mas bukan Rahul dan aku bukan Minama," ujarku sambil turun dari tembok, kemudian berjalan menaiki anak tangga satu per satu. Kudengar mas Felix berdecak di belakangku. Aku pun menoleh sebentar, dia tersenyum sekilas lalu berjalan mensejajarkan langkah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Of Ninja (Hiatus)
General FictionNiqab-an tapi kelakuan kayak preman. ~Esme Syalimar As-Siddiq binti Abu Bakar As-Siddiq~ 💖 Tatoan tapi Alhamdulillah udah jadi ulama muda. ~Ustadz Felix Zhang anaknya Jian Xi Zhang~ On going © 2017