Di siang yang cukup terik nan cerah ini, dengan sejenak mengelap keringat yang menetes di dahi, aku berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu utama kantor kejaksaan. Ada sedikit urusan yang mendesak, sehingga aku harus mempercepat langkahku menuju pintu lift. Belum sempat kakiku menginjak lantai benda kotak persegi panjang itu, seseorang sudah lebih dulu menahan pergelangan tanganku.
Ya Lord! Gara-gara pintunya lama sekali terbuka, malah keburu ketangkep sama si bocah. Eh, maksudku, "Pak Satria?" tanyaku pura-pura kaget. Mungkin agak lebay, kali ya ekspresiku ini.
"Kamu kenapa, kok buru-buru? Saya panggil-panggil dari tadi, kamu nggak denger. Saya jadi harus ngejar kamu sejauh ini, kan!" ujarnya, sembari melepaskan cekalan tangannya pada lengan bajuku.
"Lah, yang nyuruh bapak ngejar saya, siapa?" tanyaku heran.
"Nggak ada sih. Saya cuman heran, kok kayaknya sejak pernyataan cinta saya waktu itu, kamu malah seakan-akan menjauhi saya," damn it! Ini dia nih. Ah bahas masalah itu lagi.
Jadi, ceritanya begini. Dua hari setelah acara lamaran Mas Felix, di hari Selasa yang cerah nan berseri, takku sangka Satria berani menyatakan cintanya padaku. Lebih parah lagi, dia memintaku untuk mempertimbangkan kembali agar aku memilih antara dia dan Mas Felix. Sontak, permintaan itu aku tolak saat itu juga. Yang pastinya dengan cara yang sehalus mungkin. Karena aku memang tidak punya alasan untuk mempertimbangkan si Satria ini.
Kuakui sih, selama dua tahun bekerja di bawah ketiaknya, aku sempat mengaguminya. Tapi, karena kelakuannya yang nauzubillah itu, aku malah sering mencibirnya jika sedang sendirian di ruanganku. Sungguh berbeda dengan teman-temanku. Walau kerap menerima perlakuan kejam dari lelaki itu, mereka tetap mengelu-elukannya tanpa kenal lelah.
"Bukan gitu pak. Aduh, gimana ya jelasinnya?"
"Nggak, sekarang gini deh. Mending kita ngobrol di kafe itu, nggak enak ngobrol di sini. Banyak yang nonton," ujarnya, sambil menunjuk sebuah kafetaria di samping kiri pintu utama tadi. Cam kan 'anak-anak', dia nggak benar-benar nyentuh kulit tanganku kok. Bukan karena dia tidak sadar kita nggak muhrim, tapi kok kesannya dia tuh kayak lagi nyeret karung, ya?
~~~
"Jadi, maksud Bapak apa?"
"Apanya?" aku menghembus nafas perlahan, menahan segala emosi yang sudah hampir mencapai ubun-ubun. Nih cowok, cakep tapi kok ngeselin ya.
"Katanya mau ngobrol. Kok malah diem?" tanyaku mulai frustasi. Bukannya segera menjawab, dari ekor mataku, ia nampak terkekeh. Ya Lord! Itu orang gantengnya kebangetan sih. Jelas lah, denger-denger sih dia ada nyangkut keturunan Turki gitu. Coba aja, kalau Mas Felix telat lamar aku kemaren. Seenggaknya, aku mungkin mikir-mikir lagi buat nerima ini cowok, di depanku.
"Kamu nggak usah lebay deh, Es. Saya janji, kali ini nggak akan ngomongin soal kamu harus milih saya atau calon suami kamu itu. Saya ngajak kamu ke sini, karena saya mau minta maaf. Saya sadar, perlakuan saya ke kamu waktu itu sudah keterlaluan," ujarnya sembari mengaduk gula di dasar cangkir kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Of Ninja (Hiatus)
Ficción GeneralNiqab-an tapi kelakuan kayak preman. ~Esme Syalimar As-Siddiq binti Abu Bakar As-Siddiq~ 💖 Tatoan tapi Alhamdulillah udah jadi ulama muda. ~Ustadz Felix Zhang anaknya Jian Xi Zhang~ On going © 2017