Part 6 : Tercyduk

7.8K 457 11
                                    

Castnya Abang Aldo bisa lihat di mulmet.  Gimana cocok gak?

Happy reading!! 😘😘

***

Menjadi pelayan..
Menjadi pelayan..

Ucapannya tak henti-henti teriang-iang dalam kepalaku.
Bagaimana mungkin bisa dia menjadikanku pelayannya. 
Dia pikir dia siapa?

Ahh...!! 
Aku mengacak rambutku kasar.  Menjambaknya sesekali.

Tinggal disini membuat kepala dan nasibku menjadi lebih buruk.
Apa aku harus menelpon bunda? 

Aku harus balas! 

Ah..  Ya,  Aldo.
Tampaknya dia sangat tak menyukai Aldo.
Padahal Aldo sangat baik.

Aku mengambil gadget dan menelpon Aldo tanpa malu.
Terdengar nada sambung masuk. 

"Lama di angkat. Lagi sibuk kayaknya dia"

Ku matikan dan telpon kembali.
Hidupku di pertarukan di telepon ini.

"Hallo..  Assalamualaikum" ucap di seberang sana. 

Akhirnya di angkat!  Hidupku selamat!

"Wa'alaikumussalam.  Lagi sibuk gak nih pak?"

"Enggak.  Tumbenan kamu nelpon.  Kangen ya?  Baru beberapa jam di tinggal"

Harus tahan harus tahan.  Jangan baper.

"Bukan gitu pak.  Gini,  di kantor bapak ada lowongan gak?"

"Untuk saat ini belum ada.  Kenapa?"

"Aku kepengen kerja. Bapakkan juga tau,  kenapa aku bisa ada disini. Jadi apa aja gak masalah deh pak.  Yang penting kerja di kantor bapak" ucapku panjang lebar.

"Hmm..  Baiklah.  Besok aku jemput kamu."

"Beneran udah di terima?"
Wah..  Cepat banget.  Kalau kenal CEO gini,  enak juga ya.  :D

"Apa sih yang enggak untuk calon istriku"

"Idih..  Apaan sih.  Yaudah.  Makasih banget ya pak.  Ingat loh besok jemput. Duh baik banget.  Jadi makin cinta deh"

Terdengar suara tertawa keras si pemilik perusahaan. 
Aku heran.  Memangnya aku tadi bilang apa?

"Aku juga cinta kamu.  Yasudah,  aku kerja dulu.  Dah..  Calon istriku"

Tut tut tut.
Panggilan di putuskan secara sepihak. 

"Aneh banget"

****
Beresin rumah sudah. 
Mandi sudah. 

Aku bingung mau mengerjakan apa. 
Vendra belum pulang, meskipun ini sudah jamnya dia pulang.

Karena bosan aku berkeliling rumah.  Meskipun setiap hari di rumah, banyak hal yang kurang ku perhatikan. 
Terutama ruangan yang selalu terkunci itu. 
Dan lukisan-lukisan milik Vendra.

Aku ragu,  apakah dia yang melukis semua itu. 
Satu yang membuatku penasaran.

Lukisan seorang wanita berbaju merah darah sedang memetik bunga.  Di lihat dari latarnya,  itu sangat mirip dengan taman belakang rumah ini. 

Apakah ibunya Vendra? 
Vendra memang sudah di tinggal sejak 5 tahun yang lalu. 

Namun,  wanita yang ada di lukisan tidak mirip dengan ibunya.  Wajahnya cantik.  Masih muda kelihatannya. 

Apakah mantan pacarnya?  Atau tunangannya? 

Ya,  Vendra sempat memiliki tunangan. Namun,  sebelum mereka melangsungkan pernikahan,  musibah pun datang.  Ya,  aku tak tau itu karma atau bukan.  Tapi itulah takdirnya.  Bertepatan saat tau bahwa Vendra membohongiku.

Perasaan nelangsa menyeruak masuk menyesakkan dada. 

Kejadian 2 tahun ternyata belum membuatku melupakan semua itu.

Akupun mengambil kunci kamar Vendra.  Bukan penasaran dengan kamarnya.  Namun,  penasaran dengan ruangan itu.

Aku naik ke lantai dua dimana kamarku dan dia terletak. 
Mumpung Vendra belum pulang, aku bisa leluasa mencari tau tentangnya.

15 Menit mencari,  aku menemukan satu kotak di laci meja kamar Vendra.

Ada foto wanita yang di lukisan tadi.  Dan sebuah kunci.  Mungkin ini.

Aku yakin pasti ini.

Aku kembali menutup kamar Vendra dan segera ke ruangan itu. 

Memasukkan kunci dan membukanya.

"Kamu ngapain di situ?"

Belum sepenuhnya terbuka,  aku di kagetkan dengan suara bariton milik seseorang yang aku kenal. 

Sungguh,  untuk menggerakkan tubuh saja aku tak bisa. 
Aku terciduk olehnya.

Suara langkah kaki mendadak terdengar keras dan kuat di telingaku.

Rasanya aku ingin menangis saja.

Dengan cepat Vendra memegang tanganku erat.  Hingga terasa panas dan sakit. 
Aku mencoba tidak meringis meskipun sulit.

"Berani sekali kamu membuka pintu itu.  Apa hak mu hah??! " suara Vendra teramat kuat. 
Tercetak jelas bahwa dia marah. 

Memangnya apa isi kamar itu sehingga dia marah padaku?

"Ma-maaf om,  Li-lia hany-..."

"Apa?!!" potongnya.

"Lia penasaran."

"Makan saja rasa penasaranmu itu.  Jangan pernah buka kamarku maupun ruangan itu.  Kau tak berhak sama sekali menyentuhnya!  Tangan murahanmu itu tak pantas menyentuh sedikitpun pintu itu!!"

Tanpa bisa ku tahan bulir air mata menetes begitu saja.

Aku menangis.  Tidak,  aku juga marah. 
Punya hak apa dia mengatakan aku murahan? 

Aku marah. 
Sekuat tenaga ku lepaskan cengkraman tangan Vendra di pergelanganku.

Dengan cepat ku berlari ke kamar dan menguncinya.
Aku ingin pulang.
Aku mau pulang.

Dengan emosi yang menggebu, aku mengeluarkan koper dan mengambil semua pakaianku dan memasukkannya dengan paksa. 

Air mata tak berhenti juga. 
Hatiku sakit. 
Benar-benar sakit,  hingga ku tak merasakan apapun kecuali hatiku.

"Jahatt.." ucapku lemah sambil menangis. 

Aku tak tahan.  Aku lebih baik mati tertembak daripada di siksa berlahan-lahan hingga hancur berkeping-keping menusuk tulang.

Aku lelah. 

Aku meringkuk di atas kasur.
Menutup kepalaku dengan bantal, dan menangis sekuat-kuatnya.

Tak lama,  kegelapan memaksa masuk dalam seluruh inderaku.

*******

-Continued

Kerasa gak feelnya? 
Enggak lah ya 😂😂

Jangan lupa vote dan komen!!  😘😘

You See,  I'm Feel (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang