48. Akhir Rasa Yang Terbalas

1.9K 111 4
                                    

Karel sudah berdiri di Rooftop sebuah bangunan apartemen yang baru saja ia ketahui adalah apartemen yang biasa Aldo datangi.

Disana sudah tersedia satu set meja kayu yang dihiasi taplak meja warna merah muda dengan sebuah vas bunga mungil di tengah-tengahnya. Tak lupa juga sepasang kursi yang sudah diatur berhadapan.

Angin yang terasa sejuk dan berhilir mudik menyapu rambut Karel pun seakan menyampaikan pesan bahwa semesta itu adil.

Tuhan menghadirkan pelangi sesaat hujan badai menerpa. Begitu juga dengan kehidupan. Dan mungkin, hubungan Aldo dan Karel hampir sampai pada keadaan dimana Pelangi itu menghiasi langit semesta sesudah badai menerjang.

"Ada alasan kenapa gue ngajak lo kesini," ucap Aldo membuka pembicaraan. "Lo tau apa?"

Karel menatap Aldo yang berdiri di sampingnya. Ia bisa melihat bahwa lawan bicaranya juga sudah menatapnya lekat. "Enggak." Karel menjawab singkat.

Aldo tersenyum. Ia mengajak Karel untuk lebih mendekat ke arah pondasi dinding apartemen yang menjadi batas antara tempatnya berpijak dan langit lepas di depan sana.

"Dulu," ucap Aldo menggantung. Matanya mengarah pada langit yang dihiasi cahaya kelap-kelip lampu dari beberapa rumah di depan sana. "Gue gak tau perasaan apa yang lagi gue rasain. Semuanya keliatan aneh."

Karel terlihat serius mendengarkan Aldo. Ia menaruh perhatian yang utuh pada sang lawan bicara.

"Jadi waktu itu gue kesini, otak gue lagi buntu banget karna ngeliat Kevin tiba-tiba ada di rumah lo dan bikin lo senyum pas bokap lo baru aja pergi," sambungnya. "Gue gak tau lagi kenapa perasaan egois itu muncul saat ngeliat lo bisa senyum karna cowok lain dan bukan gue. Sampe akhirnya, di tempat ini, gue baru ngerti tentang semua perasaan aneh yang gue rasain."

"Lo pasti udah tau tentang perasaan apa yang gue maksud, dan gue gak perlu memperjelas hal itu lagi."

Karel tersenyum. Ia menatap sneakers yang ia gunakan. "Gue tau." Ia menjawab singkat. Kemudian ia kembali menatap Aldo yang juga sedang tersenyum di hadapannya. "Tapi masalah Kevin, gue masih gak enak sama dia."

Aldo menggandeng tangan Karel dan menariknya halus. "Duduk dulu yuk di meja sana, lo bakalan tau semuanya nanti."

Dahi Karel mengerut. Ia penasaran dengan maksud Aldo. Terlebih dengan hal yang bersangkutan dengan Kevin.

Aldo menarik kursi tersebut ke belakang sedikit dan mempersilahkan Karel untuk duduk. Setelah itu, ia menarik kursinya sendiri dan duduk disana. "Gue ngerti kenapa lo merasa gak enak sama Kevin," ucapnya. "Rasa Kevin buat lo itu udah dalem dan gue tau itu. Makanya, disini bukan cuma gue yang akan ngungkapin perasaan ke lo. Tapi Kevin juga."

Semakin tak mengerti, kerutan di dahi Karel semakin terlihat jelas. "Maksudnya gimana?"

"Siniin deh tangan lo," jawab Aldo. Karel menurut dan menaikan tangannya ke atas meja. "Gue akan ngasih kesempatan buat Kevin untuk bener-bener ngutarain isi hatinya ke lo," sambungnya lagi sambil mengelus lembut telapak tangan Karel. "Sama kaya dia yang ngasih kesempatan ke gue untuk jagain lo."

Malam ini, Aldo benar-benar sudah menyiapkan semuanya. Ia ingin kalau hubungan semua orang yang terlibat disini membaik dan menghapus luka yang sudah tergores cukup dalam di hati orang-orang yang merelakan dan melepaskan.

Tak lama setelah ucapan itu, sosok Kevin datang dengan setelah kaos putih polos dan celana jeans warna hitam. Aldo dan Karel sama-sama menoleh ke arah Kevin. Namun sepersekon kemudian, Aldo kembali mengelus telapak tangan Karel dan tersenyum kecil.

Aldo bangkit dari kursinya sambil melepaskan genggamannya di tangan Karel. Ia menyambangi Kevin dan menepuk ringan pundak laki-laki itu.

Karel menatap Kevin yang mulai mendekat. Fokusnya kadang terbagi pada Aldo yang menjauh dan menghilang sesaat.

Stranger From ChatousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang