SK2H PART 28

595 17 0
                                    

Sejak Meva membeli catur mini itu, kami jadi punya hobi baru. Setiap jam pulang kerja Meva pasti sudah menunggu di balkon dengan pion catur yg sudah ditata sesuai petaknya. Kalau sudah begitu kami bisa lupa waktu. Kadang sampe lupa makan, jam sembilan malam masih mengenakan seragam kerja. Makanya gw sering beli nasi dulu sebelum balik biar maen caturnya bisa sambil makan.

Dan harus diakui, Meva memang lawan main yg tangguh. Pernah gw kalah telak 6-0 dalam semalam. Alhasil gw harus menerima muka gw belepotan bedak sementara kuping gw panas terbakar ejekan Meva.

"Magnetnya rusak tuh, jadi geser sendiri pionnya," itu kalimat yg biasa diucapkan Meva tiap dia dapet skak mat.

"Kok bisa yah? Padahal gw nggak niat kesitu lho," dan ucapan sok pilon ini juga sering diucapkannya.

Well, nilai penting yg didapat adalah bahwa gw bisa mengalihkan perhatian gw dari Echi. Rasanya sebelum ini gw nyaris frustasi karena selalu dihantui perasaan bersalah tentang Echi, meskipun gw tahu gw nggak bersalah. Meva berhasil mengalihkan dunia gw.

Dengan sifatnya yg kolokan tapi diktator (dia masih sering maksa gw!) dia sukses membuat gw nyaman tiap berada di dekatnya. Dan mengenai kelainan dalam dirinya soal self injury, gw benar-benar memilih bungkam dan memposisikan diri gw nggak pernah tahu soal itu karena Meva sendiri nggak pernah menyinggung hal ini. Gw merasa itu lebih baik, sampai di satu sore, sepulang kerja gw naiki tangga menuju kamar.

Biasanya Meva akan langsung menyerbu lalu menyeret gw duduk di kursi yg sudah disediakannya di depan meja kecil tempat papan catur tanpa peduli gw cape ataupun laper. Tapi sore itu gw nggak menemui siapapun di sana. Dua kursi yg dipasang berhadapan di antara meja itu kosong. Nggak ada papan catur di atas meja.

"Baguslah, gw bisa mandi dulu," pikir gw dalam hati.

Selesai mandi gw makan nasi yg gw beli dari warung. Sampai jam setengah enam nggak nampak tanda-tanda Meva akan menyeret gw keluar kamar. Padahal kamar-kamar yg lain sudah menunjukkan eksistensi penghuninya.

"Va, lo di dalem?" gw memutuskan mengetuk pintu kamarnya.

Nggak ada jawaban dan gw masuk ke kamarnya yg nggak dikunci. Meva ada di sana. Sedang duduk memeluk lutut di pojok kamar. Wajahnya terbenam di kedua kakinya.

"Va? Lo tidur?" tanya gw. Pertanyaan yg seharusnya nggak gw tanyakan kalau melihat badannya yg gemetar.

"Lo kenapa Va?" gw guncang bahunya.

Meva menggeleng tanpa mengangkat wajah.

"Gw nggak kenapa-napa," suaranya terdengar parau.

"Nggak mungkin lo nggak kenapa-napa. Lo nangis ya?"

Meva menggeleng lagi. Tapi kali ini terdengar isak tertahannya. Gw yakin ada sesuatu yg terjadi. Nampaknya gw nggak perlu bersusah payah menanyai Meva, karena gw sudah menemukan sendiri jawabannya. Meva menangis karena kesakitan.

Gw nyaris terlompat begitu mendapati sepuluh batang jarum jahit menancap kuat di lengan kirinya. Tiap ujung jarum membuat kulit di sekelilingnya membiru dan pucat. Pasti jarum-jarum itu sudah lama menancap di sana.

"Lo ngapain lagi Va???" kata gw ngeri.

"Gw nggak apa-apa Ri, beneran. Lo keluar aja."

"Mana bisa gw biarkan loe dalam keadaan kayak gini!" gw membayangkan sakitnya tertancap sepuluh jarum di lengan gw.

Saat itu gw bingung. Gw mau nolong dia, tapi nggak tau baiknya gimana.

"Gw cabut yah jarumnya?" tanya gw.

Meva nggak menjawab. Gw anggap itu jawaban "iya" dari dia. Ujung jari telunjuk dan jempol gw bergetar menyentuh batang jarum yg dingin. Gw ragu bisa mencabutnya dari kulit Meva. Jarum-jarum itu menancap cukup dalam.

"Apa sih yg lo pikirin, sampe ngelakuin hal bodoh kayak gini?" gw menggerutu pelan.

Meva masih diam. Gw tau dia sedang melawan rasa sakit yg menusuknya. Atau, justru dia menikmatinya ??

Gw memaki dalam hati. Tangan kiri gw memegang pergelangan tangannya dan tangan kanan bersiap pada posisi mencabut jarum. Gw menarik napas perlahan lalu sebisa mungkin mencabut jarumnya tanpa melihat.

Perlahan.....gw angkat kepala jarum dengan dua jari. Gw bisa merasakan jarum itu berdenyir licin di dalam kulitnya seiring tarikan jari gw. Ngeri dan ngilu menyelimuti gw. Butuh lebih dari sekedar berani untuk menancapkan jarum di tubuh kita. Dan menurut gw Meva memang berani. Terlalu berani malah.

Jemari tangan Meva mencengkeram keras tangan gw ketika satu jarum berhasil gw cabut. Uugh, pasti menyakitkan sekali. Tapi Meva samasekali nggak merintih. Hebat!!

Darah langsung mengucur dari lobang bekas tancapan jarum. Sumpah gw mendadak lemes dan hampir pingsan kalau nggak memikirkan keselamatan Meva. Gw cuma bisa menelan ludah. Yg gw lakukan selanjutnya adalah mengambil sembarang kaos yg tergeletak di dekat gw dan menutup luka di tangan Meva.

Meva mengangkat wajahnya, dia menatap gw. Tanpa berkata dia tarik tangan kiri gw menjauh dari tangannya, mengangkat lengan yg masih mengucurkan darah, dan dengan dinginnya mencabuti jarum itu satu persatu!!

What the hell?? Speechless dan ngeri, akhirnya gw memutuskan keluar kamarnya dan muntah di kamar mandi saking mualnya..

SK2H (Sepasang Kaus Kaki Hitam) ~ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang