“Jadi ini pilihan yg lo ambil?” tanya Indra dari belakang gw.
Gw terdiam. Tangan gw tertahan di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan menghadap Indra.
“Lo udah yakin sama pilihan lo?” lanjutnya memastikan.
Gw mengangguk pelan.
“Nah, itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar! Oke?” dia menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat.
Indra memandang berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan, dan tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan.
“Gw bakal kangen banget sama kamer ini,” katanya kemudian.
“Apalagi gw Dul.”
“Gw inget banget saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh gila-gilaan lagi bareng anak-anak..”
“Hahaha…mengenang masa muda ya Pak?!”
“Errr gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil ‘Bapak’.”
“Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?” ejek gw.
Dan kami pun tertawa lebar.
“Hemmm…..ini salahsatu tempat bersejarah ya buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi ketika semua impian itu sudah kita capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini.”
Gw bersandar pada dinding kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan dengan cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw.
“Buat gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi,” sahut gw. “Ini juga tempat ketika gw pernah bermimpi indah…” dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini bersama Meva.
“Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw, Meva, dan sekarang elo Ri. Dan akhirnya tempat ini jadi saksi ‘kejayaan’ kita.” Dia tersenyum kosong.
Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu?, gw bertanya dalam hati. Pada akhirnya semua akan berujung ke satu titik bernama perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan yg hakiki. Echi dan nyokap gw….adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva….
“Semoga gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul,” gw sedikit ragu.
“Gw selalu di belakang lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo.”
“Thanks sob,” gw embuskan lagi asap putih dari mulut gw. “Sejak awal, gw yakin Meva pantas mendapatkan yg terbaik buat hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi menteri…” gw berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang tertutup rapat.
“…………”
“…Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion kecil yg manghalangi langkahnya menuju kotak terakhir…”
“…………”
“Yakinlah Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita,” Indra menyemangati gw. “Selamat berjuang di tempat baru ya!!”
Gw mengangguk mantap.
“Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah gw,” ujar Indra. “Pintu rumah gw selalu terbuka lebar buat sahabat terbaik gw. Lagian Jakarta – Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga temen-temen yg laen buat reunian di kosan ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SK2H (Sepasang Kaus Kaki Hitam) ~ END
RomanceAssalamualaikum wr. wb. Ini adalah cerita reborn dari cerita yang ditulis oleh salah satu user kaskus id pujangga.lama dengan judul yang sama yaitu SK2H alias Sepasang Kaus Kaki Hitam. Izinkan saya mengcopy ulang cerita ini tanpa mengubah isinya sat...