KEIRORA ✨ 1

5.7K 303 20
                                    

Keira asik menikmati sarapannya bersama saudara kembar non identiknya–Keiro– dan kedua orang tuanya–Keinarra dan Alison. Dia menggigit dalam potongan besar roti tawar beroleskan selai nanas kesukaannya, tujuannya satu, agar dia bisa lebih cepat menghabiskan makanannya dan sampai di sekolah lebih awal. Tanpa bersama Keiro tentunya.

"Pelan-pelan, Ra," tegur papanya.

Keira tersenyum kecut. Hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan papa. Namun, dirinya sama sekali tidak menuruti perkataan tersebut. Keira masih saja menggigit rotinya dalam potongan besar. Tak heran, belum ada lima menit, rotinya sudah habis. Tak lupa, ia meneguk segelas susu putih hangat bikinan mamanya.

"Keira berangkat dulu ya, Mah, Pah," pamit Keira pada kedua orang tuanya sembari menyalami tangan.

"Kenapa nggak bareng Keiro?" tanya papa dingin.

Keira menggeleng cepat. "Keira piket pagi ini, makanya Keira harus berangkat lebih awal," jawabnya gugup.

Papa hanya manggut-manggut mendengar jawaban. Sementara Keira tersenyum kecil karena papanya tak lagi bertanya macam-macam.

"Keira berangkat–"

"Lo nggak mau pamit gue?" Suara khas bariton laki-laki menghentikan langkah Keira.

Keira menatap saudara laki-lakinya dengan sengit. "Terserah gue!" ketusnya.

"Lo kenapa sih sama gue? Gue ada salah sama lo?" heran Keiro.

Pasalnya, akhir-akhir ini Keira selalu bertingkah aneh. Sudah hampir dua bulan hubungan keduanya menjauh. Keiro sendiri tak tahu mengapa Keira nampak tidak suka dengannya. Terlihat seperti Keira sengaja menjauh dari Keiro. Atau mungkin, ini hanya perasaan Keiro saja?

Keira menggeleng. "Gue keburu telat, bahas masalah ginian nanti aja!" peringatnya sembari melangkah menjauhi meja makan.

Keiro mendesah pelan. Lalu menatap kedua orang tuanya yang sama-sama bingung.

"Keira semakin aneh, Pah, Mah," gumam Keiro.

***

Keira disambut dengan senyuman Belda–teman sebangkunya sekaligus sahabatnya sejak SMP– ketika dirinya sampai di gerbang SMA Titania. Ia melambaikan tangan sembari melangkahkan kakinya lebih cepat menghampiri Belda yang sudah beberapa langkah di depan.

"Nggak bareng Keiro?" tanya Belda.

Keira mengangguk cepat.

"Lo beneran ngelakuin hal itu, Ra?" tanya Belda.

Keira kembali mengangguk.

"Ra, lo yakin sama keputusan yang lo ambil?" Belda menatap Keira yang masih saja diam.

Keira tersenyum kecut. "Antara yakin dan enggak."

"Ra, saran gue lo pikirin lagi deh kalau mau ngelakuin hal itu. Gue takut hubungan lo sama Keiro malah semakin renggang. Lo tau, di setiap celah kerenggangan itu selalu menimbulkan rasa canggung, entah itu sedikit atau banyak, tapi gue yakin itu akan selalu ada," nasihat Belda.

Keira hanya manggut-manggut mendengar ucapan Belda. Mencoba mencerna perkataan itu dengan akal sehat.

Emang bener kata Belda, tapi gue nggak tahu lagi mesti gimana.

"Gue tahu apa yang lo rasain dulu sewaktu SMP, Ra. Gue tahu persis, tapi inget satu hal, Ra, masa-masa di SMA akan jauh berbeda dengan masa-masa SMP lo yang sulit. Di sini kita banyak bertemu orang baru yang bahkan nggak tahu latar belakang dan masa lalu lo. Temen-temen SMP kita yang sekolah di sini cuma beberapa, dan gue yakin anak-anak itu bukan termasuk jajaran anak-anak yang dulu selalu jahat sama lo. Sekarang, lebih baik lo pikirin lagi semua ini sebelum nantinya lo menyesal sama apa yang lo lakuin," tukas Belda panjang lebar.

Belda benar. Memang seharusnya Keira mulai melupakan hal itu dan memulai hidup barunya di SMA. Di sini, seolah-olah Keira menyalahkan Keiro yang bahkan tidak tahu apa-apa. Keira terus terdiam sepanjang perjalanannya menuju kelas. Pikirannya terfokus pada apa yang harus ia lakukan ke depannya. Kini, semuanya seakan serba salah.

Tak terasa, keduanya telah sampai di ambang pintu kelas. Belda segera menempatkan diri di bangku kedua pojok kanan, diikuti Keira yang melakukan hal yang sama. Keira menengok ke kanan dan kiri, mendapati banyak bangku yang masih kosong. Dirinya mendengus pelan ketika melihat Aaron yang asik memainkan ponsel di kursi paling pojok. Kakinya ia tempatkan di atas meja. Seragamnya terlihat kusut dan ia tak memakai dasi. Padahal, aturannya setiap memakai seragam OSIS, diwajibkan memakai dasi.

Keira tidak suka dengan Aaron. Dia teman Keira sejak SMP. Mungkin tidak bisa disebut teman karena mereka tak pernah satu kelas dan tak pernah terlibat dalam perbincangan apapun. Yang Keira tahu, Aaron pernah bertengkar dengan Keiro. Tak hanya sekali, empat atau bahkan lima kali berturut-turut. Entah apa sebabnya, Keiro tak pernah bercerita penyebab pekelahian mereka berdua. Yang Keira tahu, Keiro kesal setengah mati dengan Aaron. Itu membuat dirinya juga kesal pada Aaron. Mungkin, karena ikatan batin. Yang satu kesal, lainnya ikut kesal.

CTAK!

Sebuah pulpen melayang tepat mengenai dahi Keira. Keira mengaduh sembari memegangi jidatnya. Keira tahu, Aaron sengaja melemparkan pulpen itu ke arahnya.

"Jangan liatin gue kayak gitu! Gue risih!" tegur Aaron tanpa mengindahkan pandangan dari layar ponselnya.

Keira menyerngit. Aaron sadar jika dari tadi ia memperhatikannya. Duh, Keira kan jadi malu! Keira mengambil napas dalam-dalam, mencoba bersabar menghadapi sikap Aaron.

"Kembaliin pulpen gue!" titahnya masih tanpa memandang lawan bicaranya.

Keira mendecih. "Lo ngomong sama gue apa sama ponsel lo?"

"Ngomong sama angin!" ketusnya, "ya ngomong sama lo lah!"

Keira mengelus dadanya berkali-kali. Ia mengambil pulpen hitam yang kini berada di dekat kakinya. Dengan sekuat tenaga, ia lemparkan benda itu ke arah Aaron yang masih saja asik dengan ponselnya. Tak disangka, Aaron sadar dengan setiap pergerakan yang Keira lakukan. Itu sebabnya, ketika Keira melayangkan pulpen itu ke arahnya, Aaron menggeser badanya sembari tersenyum miring.

"Dasar, cewek bodoh!"


Halloo~~~
Ini sequel dari cerita Aspettare
Mohon vote dan komennya ya^^
Arigatou😁

KEIRORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang