54. Gather Support

21.3K 1.7K 119
                                    

My selfish pleasure that was not responsible...
Sometimes a feeling of everything being ruined...
Your precious gesture that you didn’t know when to stop...
Now it’s a feeling where there is no such inspiration or fun...
I’m alone on the edge of the precipice...
I’m going home...
And you are my home...

*

Alkins menarik Luna menuju salah satu kafe di lantai satu rumah sakit ini. Ia ingin berbicara secara khusus dengan Luna empat mata saja.

Berulang kali Luna melakukan perlawanan agar Alkins melepaskan genggaman tangannya namun usaha Luna sia-sianya. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Alkins yang seorang pria dan nampaknya dipenuhi emosi.

Alkins memandang Luna dengan seksama. Memindai setiap jengkal perubahan yang terjadi pada Luna. Banyak sekali perubahan pada Luna sejak terakhir kali sejak Alkins melihat wanitanya di landasan udara. Saat itu Luna terlihat lemah, pucat dan tak berdaya. Hanya semangat dan cinta yang begitu besarlah yang masih tersirat saat itu.

Alkins menarik napas dalam. Ia sendiri bingung mau mulai dari mana dan bagaimana  harus membangun percakapan di tengah keterdiaman mereka. Dari dulu Luna yang selalu memulai semuanya jika mereka berbincang, bukan Alkins. Dan Alkins terbiasa dengan hal itu.

"Hmm..." Luna berdehem karena kesal didiamkan saja sehingga membuat Alkins berhenti menatap Luna dengan intens.

"Kalau kamu mau diam-diaman gini dan hanya mau melihat aku. Lebih baik aku kembali ke ruangan Dirga. Sepertinya dia sudah bangun. Karena urusanku saat ini hanya pada Dirga..." kata Luna memecah keheningan yang masih tercipta padahal Luna sudah berdehem tadi. Ia akan beranjak berdiri namun jemarinya ditahan oleh Alkins.

"Sunshine... Kamu cantik... As always..."

Luna berdecih lalu melipat tangannya di depan dada berusaha untuk tidak tersipu. Ia membuang muka ke arah kiri.

"Kamu hanya mau bilang itu...? Luar biasa sekali Tuan Alkins Samudera Aked yang terhormat... You're fucking insane..." bentak Luna kesal tanpa bisa ditahan.

"I'm sorry..." kata Alkins tulus. Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Alkins. Ia masih memikirkan kalimat-kalimat yang harus ia katakan.

Luna menatap tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.

"Dengar Al... Sudah aku maafkan..." Luna menjedah sebentar kalimatnya. Ia menatap Alkins dengan tatapan kesal dan muak. Bagaimana mungkin pria di depannya ini dapat bersikap sebegitu tenangnya. Sedangkan hati Luna sudah gundah gulana.

Luna menarik nafas dalam lalu ia mulai bicara lagi.
"Aku selalu memaafkan semua pria yang menyakitiku... Selalu... Jadi jangan meminta maaf lagi karena bagiku, kesalahan sebesar apapun selalu bisa dimaafkan. Tapi ingat, tidak untuk dilupakan... Kamu dan Kak Aaron sepertinya tidak ada bedanya... Just leave a wound in my heart." Luna sudah hampir menangis saat mengungkapkan perasaan terlukanya itu secara gamblang.

"I'm not him... And never be him... I didn't leave you because another woman." kata Alkins membela diri.

Luna menggeleng tidak percaya. Lelaki dan mulut manisnya memang selalu memuakkan. Ia lalu mengeluarkan beberapa lembar foto dari tas nya lalu melemperkan lembaran itu pada Alkins. Menunjukkan kepada Alkins bahwa ia tahu ada wanita lain di hubungan mereka. Ia benci hal itu. Sangat membenci orang ketiga perusak hubungan orang.

Alkins melihat dan tersenyum paham. Ia paham dengan situasi yang terjadi saat ini. 

"See...? You've destroyed my trust in you Al... You look so happy... And you know how about my condition in here...? Terrible." Suara Luna naik beberapa oktaf. Air mata Luna mulai berderai. Efek hormon kehamilan dan apa yang ia rasakan benar-benar meruntuhkan pertahanannya agar tidak menangis.

dr. AkedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang