2

1.1K 196 16
                                    

Akhirnya aku lanjutin cerita ini, hehe…

Sebenarnya aku nggak tega kalo harus hapus story ini meskipun misal cuma ada satu orang wujud nyata (yang komentar) yang mengharap story ini dilanjutkan. Dan lagi aku pikir kalo dari awal aku sendiri nggak yakin sama story ini, maka lebih baik nggak usah dipublish dari awal. Iya kan? #curhatajasih

Tapi ternyata di luar dugaan karena ada banyak (dalam artian lebih dari satu) yang pengen story ini tetep dilanjut, aku juga mau bilang makasih yang udah kasih masukan juga semangat, seneng deh jadinya.

Part ini aku persembahkan special teruntuk reader-nim yang masih setia nunggu story ini. Enjoy!

***

Ayolah! Seulgi bukannya benar-benar tidak tertarik dengan tawaran itu, tapi cara pria itu mengajukan permintaannya terlalu memandang rendah dirinya. Tentu saja Seulgi harus menjaga harga dirinya, itu prinsip. Dan Seulgi adalah gadis yang akan selalu memegang teguh prinsip hidupnya.

Percakapannya dengan Irene tempo lalu juga membuat otaknya mendidih. Bagaimana tidak? Jika awalnya Seulgi hanya ingin menganggapnya sebagai angin lalu, justru perkataan Irene saat itu benar-benar membuatnya berpikir jauh tentang penawaran Sehun.

“Oh Sehun bisa melindungimu dari dia.”

Sial memang, Irene sudah terlalu banyak tahu tentang seluk beluk kehidupan seorang Kang Seulgi. Gadis itu seperti sebuah buku yang terbuka bagi Irene, sehingga Irene bisa dengan mudah membacanya. Hal yang terkadang bisa menjadi sangat menguntungkan tapi juga merugikan bagi Seulgi, karena ia tidak bisa dengan mudah menyembunyikan apa pun dari Irene, yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

Maka pagi itu dengan langkah gontai, Seulgi kembali mengunjungi Busan. Dulu ia tinggal penuh kebahagiaan disini, tapi kebahagiaan itu lenyap beberapa tahun lalu sejak kejadian itu.

Seulgi menatap nanar batu nisan bertuliskan Kang Miyoung yang terlihat kokoh di hadapannya. Begitu kokoh namun menyimpan sejuta rasa kelam juga pedih di dalamnya. Tanpa sadar, gadis itu membuang muka. Menahan air matanya yang mendesak keluar, mencoba menolak segala rasa sakit yang kembali berkecamuk di dalam hatinya. Rasa sakit yang seharusnya sudah lama hilang.

“Semuanya akan baik-baik saja kan?” ujarnya parau. Tidak ada orang lain disana, hanya Seulgi juga susunan batu nisan lain di sekitarnya. Dia berusaha untuk menguatkan dirinya.

“Apa aku harus benar-benar bersembunyi dan mencari perlindungan?” Seulgi merutuki kebodohannya. Pertanyaan-pertanyaan itu selamanya tidak akan pernah ada yang menjawabnya.

“Aku ingin bertahan lebih lama lagi…” gadis itu menggigit bibirnya, tidak yakin apakah ia benar-benar sanggup mengatakan ini atau tidak, tapi ia putus asa, “…tapi dia… benar-benar menginginkan aku pergi sejauh mungkin.”

***

Seulgi bangun secara tiba-tiba, hingga membuat kepalanya pening dan pandanganan kabur sejenak. Ia langsung tertidur begitu sampai di apartemennya, sepulang dari Busan.
Napasnya terengah, seperti baru saja mengikuti lomba marathon. Keringat mengalir deras dari pelipisnya, ia juga merasakan lengket di seluruh badannya juga basah. Ahh…pandangannya tertuju pada benda tipis berbentuk persegi panjang yang masih bergetar-getar sembari menyorakkan nyanyian riang tanpa dosa. Huh. Mengagetkan saja.

“Noona!!!” lalu suara nyaring Lee Taeyong terdengar dari ujung sana, hingga Seulgi menjauhkan sedikit ponsel itu dari telinganya. Menjaga agar gendang telinganya tidak pecah, ketika kondisinya masih belum siap menerima teriakan semacam itu.

Waeyo?” sahut Seulgi malas, masih belum reda dari rasa terkejutnya akibat gerakan tiba-tiba saat terbangun tadi. Dan Taeyong menghadiahinya dengan teriakan aneh yang membuat kepalanya makin berdenyut nyeri.

The Pieces Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang