Spesial SEHUN

954 159 23
                                    

SEHUN

Bagaimana aku jelaskan ini semua?

Pernikahan ini, kehadiran Seulgi jelas bukan sesuatu yang pernah aku inginkan terjadi dalam hidupku. Memiliki Wendy sudah lebih lebih cukup.

Tapi Seulgi...dia benar-benar mengacaukan semuanya.

Aku merasa telah berperan sebagai seorang suami yang baik, bertindak manis, memperlakukan dia dengan baik seperti yang disarankan Wendy. Tapi semakin lama aku bersamanya, sepertinya aku menikmati peranku.
Perasaanku padanya setiap saat terus berubah. Entah seperti apa. Tapi...aku rasa aku mulai dekat dengannya.

"Kau menangis lagi."

Sejak menariknya menjauh dari kerumunan wartawan, gadis itu tidak berhenti menangis seolah stok air matanya tidak pernah habis. Dan aku benci melihatnya menangis. Wendy tidak pernah menangis sesering ini, tapi Seulgi begitu rapuh.

Seulgi menyimpan banyak hal buruk dalam hidupnya, yang perlahan membuatku tertarik untuk melindunginya. Apa ini salah?

"Kejadian itu...sekarang atau dua puluh tahun lalu masih menimbulkan rasa sakit yang sama." Ujarnya parau. Dia masih terisak, menundukkan kepalanya dalam, sama sekali tidak menatapku.

Seharusnya pemandangan eksotis di Pantai Gwangalli saat senja bisa dengan mudah membuat kita terhanyut dalam suasana yang romantis. Tapi aku terjebak dengan seorang gadis yang terus menangis sepanjang waktu karena luka masa lalunya yang kembali diungkit.

Aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Sebelumnya aku begitu yakin telah melakukan yang terbaik untuk mengabulkan permintaannya, tapi setelah melihatnya menangis hari ini sepertinya aku melakukan kesalahan.

"Seulgi-ah..." aku menarik tangannya pelan, sedikit memaksanya untuk menghadapku, menatapku. Aku tidak pernah suka diabaikan. Seharusnya dia tahu itu.

"Kau harus menghadapinya, sesakit apa pun. Agar kau bisa lepas dari rasa sakit itu, menghindar bukan berarti semuanya selesai. Sekali saja, hadapi rasa sakitmu dengan berani. Semuanya akan baik-baik saja." Ucapku pelan. Aku selalu berharap dia baik-baik saja.

Ini tidak mudah baginya, tapi bagaimana pun dia sudah mengambil langkah untuk kembali pada masa dimana luka itu dibuat. Dia tidak bisa kembali lagi, dan aku akan memastikan diri tetap berada di sampingnya.

Setelah sekian lama, akhirnya dia menatapku. Kedua matanya memerah dengan lelehan air mata yang masih begitu kentara, menggambarkan suasana hatinya benar-benar buruk. Bibirnya bergetar, menahan tangis yang mungkin siap meledak kapan pun.

Seulgi menatapku pilu, wajahnya pias, "Sehun-ah, bantu aku melupakan rasanya. Sakit sekali." pintanya. Ia meremas kuat lenganku, seolah aku bisa dijadikannya sebagai sebuah pelampiasan atas rasa sakit hatinya yang sudah lama ia pendam.

Itu sedikit menyakitkan. Tapi aku tak merasakan apa pun, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit yang ia rasakan.

Bukankah sekarang aku terlihat sangat melankolis? Tapi sungguh, aku sangat tidak menyukai air mata itu. Wajah sedih itu membuatku gila.

Dan sepertinya aku memang benar-benar gila saat kedua tanganku bekerja secara aktif untuk merapatkan tubuhnya padaku, menghapus jarak di antara kami dengan sebuah ciuman.

Benar. Aku menciumnya. Lagi. Hanya saja kali ini kami tidak sedang berada di kamar, tidak sedang dalam masa untuk program hamil yang pernah kami rencanakan, tidak dalam pengaruh obat perangsang, juga tidak dalam keadaan terpaksa.

Aku menciumnya karena aku ingin. Ini aneh. Tapi aku benar-benar menginginkannya.

Tidak. Jangan menuduhku mengambil kesempatan dalam kesempitan! Dia memang tidak memintaku untuk melakukan ini, tapi aku yakin ini bisa sedikit menghiburnya. Sebuah sentuhan. Hey, apa yang kalian pikirkan tentang 'sentuhan'?

The Pieces Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang