END

1.2K 145 30
                                    

Jika saja, Seulgi bisa memeluk bulan saat ini, mungkin ia akan melakukannya sekarang. Senyumnya terus mengembang seperti sinar mentari yang cerah pagi ini. Sesekali ia bersenandung kecil sementara tangannya menyibukkan diri dengan roti panggang untuk menu sarapan pagi mereka.

“Pagi, noona! Apa hari ini ada perayaan khusus?”

Melihat Seulgi menyiapkan sendiri sarapan paginya tentu saja bukan hal yang terlihat wajar. Setelah mereka pindah ke Jepang, Seulgi terlalu fokus pada pekerjaannya. Dan menyerahkan hampir seluruh perannya sebagai ibu kepada Irene.

Taeyong, pria dengan segudang bakat, menurut Seulgi. Entah bakat untuk menjadi begitu menyebalkan, atau bakat untuk menjadi seseorang yang bisa sangat diandalkan. Padahal kemarin mereka melewati waktu yang cukup menegangkan, tapi pria itu dengan santainya menghilang dan tak memberi kabar.

“Kemana Yena?” tanyanya, ia nampak celingukan dengan apel segar yang entah sejak kapan sudah berada dalam genggamannya.

Seulgi mendengus kesal, gadis itu meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk berbalik tetap berhadapan dengan Taeyong. “Seharusnya aku yang bertanya, kemana saja kau sejak kemarin?”

“Aku menginap di rumah temanku, yahh aku juga butuh bertemu dengan teman-temanku kan?” Taeyong menggigit apel di tangannya dengan satu gigitan besar.

Seulgi tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam tempurung kepala Taeyong. Pria ini sulit ditebak, atau memang ia terlalu pandai menyembunyikan sesuatu sehingga Seulgi tidak mampu menjamahnya. Tapi Seulgi tau, menjadi seorang Taeyong pasti sangat melelahkan.

“Yena masih tidur.” Sahut Seulgi, kembali pada topik awal pembicaraan mereka. Ia tidak ingin terlalu mengusik Taeyong.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Taeyong melenggang santai menuju kamar Yena, bermaksud membangunkan si putri tidur. Tapi beberapa saat kemudian ia kembali pada Seulgi dengan kerutan dalam di keningnya. “Dia tidak ada di kamarnya.”

“Bukan kamarnya, tapi kamarku. Dia tidur disana semalam.”

Taeyong mengangkat sebelah alisnya, bingung. Yena lebih suka tidur di kamarnya sendiri, dimana pun ia berada. Maka kenyataan bahwa Yena tidak berada di kamarnya membuat Taeyong semakin bertanya-tanya.

Tidak lagi berteriak memanggil nama ‘Yena’. Taeyong memilih untuk mengendap-endap masuk ke dalam kamar Seulgi. Tapi langkahnya terhenti ketika pintu berhasil ia buka dan terlihat Yena masih tertidur pulas dalam dekapan Sehun.

Perlahan pria itu menyunggingkan senyum hangat, lalu kembali menutup pintu kamar Seulgi, mengurungkan niat untuk menganggu keintiman ayah dan anak itu. Sedikit aneh rasanya, bahwa kemarin ia khawatir Yena akan lebih dekat dengan Sehun dibandingkan dengan dirinya yang telah merawat Yena sejak lahir. Tapi melihat bagaimana Yena begitu nyaman bersama Sehun justru membuat hatinya lega.

“Kenapa? Tidak jadi membangunkan Yena?” tanya Seulgi begitu melihat Taeyong kembali dengan ‘tangan kosong’. Tapi pria itu tidak berhenti tersenyum.

“Gadis kecil itu…” Taeyong terkekeh pelan, “Ck….gadis jaman sekarang memang suka jual mahal.”

Tanpa permisi, Taeyong menyeruput espresso hangat yang tersaji di meja, entah untuk siapa.

“Isshh, itu bukan untukmu!” Seulgi menampik tangan Taeyong agar kembali meletakkan cangkir espresso itu pada tempatnya.

Taeyong mendelik kesal, karena cairan espresso itu tanpa sengaja mengotori kausnya yang kebetulan berwarna putih, “Noona, aku sudah terlanjur meminumnya. Buat saja yang baru! Kau tidak akan membiarkan kesayanganmu itu meminum minuman bekas orang lain kan?”

The Pieces Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang