10. Mau juga?

10.7K 2K 381
                                    

Ada yang berubah. Namun banyak yang bertahan. Memang kenyataannya takdir tidak bisa dilawan. Bahkan cuaca pun sering kali tidak berkawan. Tetapi pastinya kepercayaan harus selalu diperjuangkan. Demi cinta kita dimasa depan.

Lila terlihat mencibir ketika setelah hampir dua jam mereka di rumah sakit, Wahid akhirnya tiba juga. Laki-laki itu nampak berlari di sepanjang lorong rumah sakit, hingga akhirnya masuk ke dalam ruang rawat di mana Kiki berada.

Wajahnya nampak pucat. Lila yakin Wahid begitu khawatir terhadap kondisi istrinya itu. Tetapi yang Lila tidak suka, mengapa sampai selama ini gerakan Wahid hingga akhirnya tiba di rumah sakit.

"Wahid udah datang?" tegur Bitha yang ikut duduk di samping Lila.

Perempuan itu mengangguk, memperhatikan wajah Bitha dari samping.

Lila akui pahatan wajah perempuan ini begitu sempurna. Mulai dari keningnya, lalu hidung, bibir hingga bentuk mukanya semua begitu pas sampai menghasilkan pahatan yang indah.

"Lama juga ya dari kantornya ke sini?"

"Tau deh. Paling alasannya macet. Kalau dia mau sedikit aja berkorban, apa salahnya ke sini naik ojek. Biar lebih cepat. Untung aja Mbak Kiki udah dibawa ke rumah sakit duluan, bukan dibiarin aja di rumah," gerutu Lila.

Bitha menupuk paha sahabatnya itu. "Hust, nggak boleh gitu. Jangan pernah mengungkit-ungkit sebuah kebaikan. Haram hukumnya,"

"Loh.. Aku nggak ngungkit loh Mbak. Cuma diluar logika aja, istrinya lagi sakit eh sampai ke rumah sakit setelah dua jam. Kalau istrinya mau melahirkan, udah keburu keluar anaknya,"

Bitha cekikikan di sampingnya. Menepuk-nepuk paha Lila dengan tangan kanannya yang bersih tanpa cincin pernikahan mereka.

Kedua mata Lila membulat. Meneliti lebih detail, mungkin saja cincin itu jatuh atau terlepas dari tangan tetangganya itu. Namun semakin dia teliti tidak ada bekas sedikitpun di jari manisnya itu.

Pikiran buruk tanpa bisa dikendalikan masuk ke dalam otak Lila. Apalagi beberapa hari lalu dia dengar Bitha sedang ada masalah dengan suaminya, Barra. Apa mungkin mereka sudah resmi saling melepas cincin?

"Oh, iya. Keadaan Mas Abi gimana?" tanya Lila basa basi sebelum kepada inti pertanyaan yang ingin dia ajukan.

"Alhamdulillah udah baik. Tapi sekarang lagi di Bundaku. Yah mau gimana lagi, akunya sibuk ngurusin butik. Banyak pesanan. Jadi Bunda yang bantu jagain,"

"Eh.. Bundamu mau jaga cucunya? Kamu nggak kasihan?" tanya Lila aneh.

Bitha terkikik geli, "iya. Kebetulan Bunda memang suka sekali sama anak-anak."

Oh, suara batin Lila. Sejenak dia tersenyum pahit. Andai Ibunya masih hidup, dan Ayahnya tidak sedang bekerja di luar kota, mungkin Aneska akan merasakan kasih sayang Kakek dan Neneknya juga.

Namun sampai detik ini, Lila hanya bisa bersyukur. Setidaknya ada Mama, Ibu angkat dari Karim, yang masih bersedia memberikan perhatian kepada cucu pertama mereka.

"Enak ya masih bisa kerja," lirih Lila dengan kepala tertunduk.

"Yah ada nggak enaknya juga. Pastinya akan ada yang dikorbankan. Dan di sini, Mas Abi yang dikorbankan." ceritanya pelan.

"Memangnya suami Mbak nggak melarang supaya di rumah aja?"

Lila menatap Bitha yang sibuk menarik napasnya dalam. "Dilarang sih, tapi aku yang sering banget melawan. Sebelum menikah dengan dia, aku udah punya karirku sendiri. Dan mengapa hanya karena setelah menikah, semuanya menjadi terbatasi. Aku dan dia sama-sama punya hak yang sama kan? Apalagi dalam rumah tangga nggak boleh yang namanya berat sebelah. Jika aku memberikan dia kebebasan, mengapa dia justru ingin mengengkang aku?"

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang