Aku tidak pernah mengekangmu apapun. Jika memang kamu mencintaiku, kamu pasti tahu apa yang kumau.
Sesuatu yang sejak awal begitu ditakuti Nada akhirnya terjadi juga. Sewaktu Agam pulang dari tugasnya, dan mengetahui bila telah terjadi sesuatu siang tadi antara Nada dan Lila, Agam tak mampu menutupi kemarahannya.
Dia sangat kecewa atas tingkah laku Nada yang tidak pernah berubah. Selalu ingin dimengerti oleh orang lain, padahal dia sendiri tidak mampu mengerti dirinya sendiri.
Mengaku akan menjadi seorang Ibu yang lebih baik untuk Zhafir nyatanya hanya di bibir saja. Semua sikap Nada tidak ada yang berubah sejak pertama Agam bertemu dengannya di kereta dulu.
Begitu mudahnya menyimpulkan sesuatu yang hadir dipikirannya. Padahal kenyataan dan dugaan dalam pikiran kadang sering kali tidaklah sama.
"Maafin aku Mas Agam, maaf. Sungguh aku nggak mau Mas marah kayak gini sampai diemin aku. Aku tahu sebesar apa kesalahanku tadi. Aku mohon maafin aku Mas." ucap Nada dengan tangisan yang tiada hentinya.
Agam yang tengah duduk di sebuah kursi berulang kali memijat keningnya yang terasa pening. Bukan hanya pekerjaan yang sering kali membuatnya kesal, namun Nada pun juga tak pernah absen berulah seperti ini.
Sudah tidak terhitung berapa kali Agam meminta maaf atas kelakuan Nada yang diluar logika. Dan kini apa yang istrinya lakukan benar-benar sungguh keterlaluan. Andai saja Ayah Nada tahu masalah ini, entah kemarahan seperti apa yang beliau keluarkan untuk Nada.
"Maaf," mohon Nada sambil bersimpuh di bawah kaki Agam. "Nada mohon Mas ngomong. Jangan diemin Nada begini, Mas."
"Bangun kamu!! "
"Nggak mau."
"Bangun Nada!!! " bentak Agam sedikit keras.
Tubuh Nada mengkerut, takut. Dia menatap manik mata Agam yang terus saja menghindarinya dari tadi.
"Nada. Aku bilang bangun!!! "
"Nada nggak mau bangun sebelum Mas maafin Nada." ucapnya melemah. "Maafin Nada, Mas. Sekali lagi maafin Nada."
"Kamu tahu Nada, orang sering kali menggunakan kata maaf sebagai alasan agar dia bisa melakukan kesalahan lagi ke depannya. Dan kamu mau maaf dari Mas, sedangkan bukan satu kali kesalahan yang sudah kamu buat. Mas nggak paham apa yang ada dipikiran kamu. Semakin berkurangnya usia, kamu semakin menggila seperti ini."
Agam menatap Nada yang terus saja menangis. Kepala istrinya itu tertunduk, dengan rambut hitam panjang yang sejak dulu Agam sukai terjatuh menutupi wajah cantik Nada.
Lama keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Sebelum akhirnya tangan Agam memegang dagu Nada, lalu kemudian dia mengarahkan wajah cantik itu ke atas agar bisa dia pandangi dengan puas.
"Jangan menangis lagi, istriku. Tolong jangan menangis lagi."
"Mas Agam...," seru Nada bergegas memeluk erat tubuh Agam dengan erat. "Maafin Nada."
"Ini semua bukan salahmu. Tapi ini adalah cara Tuhan menegurku. Bahwa membahagiakan istri bukan hanya dengan harta, tapi dengan cinta dan kasih sayang."
"Mas Agam jangan ngomong gitu. Semua ini salah Nada," peluk Nada semakin erat.
"Tidak Nada. Ketika seorang istri salah, bukanlah istrinya yang ditegur olehNya. Namun suaminya. Suami yang diminta pertanggung jawaban olehNya dalam hal mendidik istrinya. Karena itu aku merasa... "
"Hust, jangan diterusin." Nada menempatkan jari telunjuknya di bibir Agam. Kedua manik mata mereka saling mengunci satu sama lain. Seolah hati merekalah yang saling berbicara. "Kamu tahu kenapa Ayah selalu bilang, menikah itu pahalanya seumur hidup? Karena seperti inilah aslinya. Jalannya berliku. Kadang terjal dan curam. Kadang kita harus terluka demi mencapai tujuan yang sama. Dan aku paham sekarang kenapa Ayah bilang begitu. Karena aku melihatnya dalam diri kamu, Mas. Demi aku, kamu rela melakukan apa saja. Kamu mengemis maaf kepada orang lain hanya untuk melindungiku. Bagiku, kamu sosok imam hidup yang paling baik. Jika aku disuruh memilih, menikah dengan kamu atau dengan laki-laki lain, aku rela memilih kamu. Meskipun seluruh keluargaku menentangku."
Agam tidak mampu berkata-kata lagi. Dia memeluk tubuh Nada erat, sambil sebuah kalimat cinta dia ucapkan di telinga Nada. "Tetaplah bersamaku, Nada, sampai akhir hayat nanti. Seperti halnya waqaf lazim."
"Aduh..., aduh..., mendadak amnesia kalau kamu udah gombal pakai nahwu." tepuk Nada pada keningnya.
Keduanya saling tertawa. Mencoba mengikhlaskan semua masalah yang dialami dalam keluarga kecil mereka.
***
Karena terlalu banyak kerjaan yang menumpuk Karim benar-benar tidak memperhatikan Lila dan Putri kecilnya, Aneska. Sejak dia pulang dari kantor, sampai sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, Karim terlalu fokus akan pekerjaanya.
Pekerjaan yang awalnya selalu dia tolak karena tidak mau berhubungan dengan keluarga Ayah angkatnya itu, akhirnya Karim terima. Namun sebelum dia menjalankan perusahaan tersebut, Karim masih memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah di kantor lamanya dia bekerja.
Karena itulah waktu yang Karim miliki tersita ke sana. Bahkan sampai detik ini dia belum sempat bercerita ke Lila mengenai masalah ini. Bukan Karim bermaksud menutupinya, namun Karim masih mencari waktu kapan dia dan Lila sama-sama memiliki pemikiran dingin.
Apalagi Karim pun tahu, Lila tidak akan setuju bila dia bekerja di perusahaan Ayah angkatnya. Karena mau tidak mau Karim akan lebih sering bertemu Zella. Dan itu yang membuat Lila benci. Bukannya Lila tidak suka jika Karim membantu keluarga Ayah angkatnya, tetapi Lila memiliki pertimbangan lain mengapa dia tidak mau Karim berada di sana.
"Sayang..., " bisik Karim di telinga Lila yang tertidur membelakangi posisinya.
Lila meringis sambil berbalik ke arahnya. "Kenapa?"
Karim mencoba tersenyum, meskipun di tengah minimnya cahaya lampu kamar mereka, Karim bisa melihat betapa lelahnya wajah Lila. Untuk itu dia mengurungkan niatnya mengganggu Lila malam ini. Apalagi Aneska tidak sedikitpun mau menyelesaikan kegiatan menyusunya.
"Nggak papa." jawab Karim.
Dengan satu tangannya, Karim mengusap kening Lila sayang. Sampai ke arah kepalanya. Namun dia melihat wajah Lila meringis kesakitan ketika tangan Karim menyentuh kepalanya.
"Kamu kenapa?"
"Nggak papa."
Bukan tanpa maksud Lila menutupi kejadian tadi siang terhadap Karim, tetapi Lila tidak ingin semua masalahnya menjadi beban untuk Karim.
Apalagi Lila merasa memang dirinya yang salah, tiba-tiba saja turut bergabung dalam pembicaraan Nada dan Kiki tadi siang. Karena itu Lila memilih diam, dan menutupi kejadian itu rapat-rapat.
Melihat Lila masih meringis sakit, Karim menjadi curiga. Dia menghidupkan lampu kamar sehingga ruangan itu menjadi terang benderang.
"Kamu kenapa sih? Sakit?"
"Nggak kok," ringisnya pelan. "Cuma kecapekan aja. Dari tadi Aneska rewel terus."
Tak mampu berkata-kata, Karim hanya menatap kondisi Lila tajam. Istrinya itu tertidur menggunakan daster batik kebangganya.
Memang dari yang Karim lihat, wajah Lila sedikit pucat. Membuatnya bertanya-tanya, apakah Lila sedang sakit?
"Kamu sakit ya?"
"Nggak. Udah tidur lagi aja. Aku mau istirahat." jawab Lila membalik posisi tidurnya, membelakangi Karim kembali.
"Lila, jangan bohong sama aku. Kamu kenapa?" tanya Karim semakin mendesak.
Perasaan kesal akibat kejadian tadi siang, ditambah ketidak pekaan Karim, benar-benar mencampur adukkan perasaan di hatinya.
"Anggap aja aku berbohong. Agar supaya, nilai kita menjadi satu sama. Kamu bohongi aku, dan aku kini sedang membohongimu. Tidak perlu kamu menjelaskan alasannya kenapa kamu membohongiku. Karena aku pun nggak mau kamu tahu apa alasan aku bohong. Sesuai katamu dulu, jalani aja peran kita masing-masing."
Continue..
Dalem cyin.. Hahahaa..
Nyesek aing nulisnya..
Bantu koreksi typo yoo.. Makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)
HumorRANDOM PRIVATE. DILARANG KERAS MENYADUR ISI, MENYALIN, MENGAMBIL INPIRASI. TIDAK PUNYA IDE LEBIH BAIK JANGAN MENULIS!!! DARI PADA MENGAMBIL IDE ORANG LAIN _____ Hal biasa yang sering kali terjadi dalam sebuah keluarga. Bila menurutmu berbohong bisa...