15. Belajar lagi tentang perasaan

8.8K 1.7K 118
                                    

Apapun yang kulakukan saat ini, aku hanya ingin hal yang berbeda dari apa yang kurasakan dulu.

Edisi marah Karim masih berlanjut hingga dua hari berikutnya. Ia masih saja bersikap dingin kepada Lila semata-mata ingin Lila menyadari kesalahannya. Apalagi ditambah atas apa yang Agam lakukan demi istrinya itu membuat kekesalan Karim atas dirinya sendiri semakin menjadi.

Dulu awalnya dia pikir menikah itu mudah, namun pada kenyataannya tidaklah sama. Banyak hal yang harus dia jaga terutama arah tujuan mereka, antara dirinya dengan Lila yang harus selalu sama. Sehingga langkah mereka ke depannya tetaplah mudah.

Namun bagaimana menyamakan langkah, jika pemikiran mereka saja tidaklah sama. Di mata Lila, Karim adalah sosok laki-laki tidak peka jika dibanding para suami tetangganya itu. Akan tetapi yang Lila tidak tahu, banyak hal yang Karim pikirkan dengan pertimbangan yang masak demi kebahagiaan keluarga kecilnya.

Karena perbedaan pemikiran itulah, yang sering menimbulkan pertengkaran di antara keduanya. Padahal hanya perlu sedikit banyak bicara demi tercipta kerukunan dalam rumah tangga. Namun tetap saja pasangan yang menjunjung ego tinggi, akan lebih mementingkan egonya dibanding hal lain.

"Pa, jagain Aneska sebentar," suara Lila bagai memerintah.

Karim yang sudah mau berangkat kerja, menunda kembali kepergiannya. Dia melihat putrinya itu sibuk duduk di atas kasur tipis dalam ruang keluarga dengan banyak mainan di sekitarnya.

Hal seperti ini memang sering kali terjadi setiap paginya. Bila Lila belum selesai membereskan bekas sarapan Karim, maka Karim harus bertugas menjaga Aneska sejenak sebelum ia berangkat ke kantor.

Karena jika sedikit saja Aneska diluar pengawasan baik Lila ataupun Karim, pasti balita itu akan mulai bergerak. Merambat ke sana ke sini, sambil menarik beberapa barang rumah tangga yang bisa saja pecah.

"Ma.. Jangan lama-lama.." panggil Karim cukup kencang.

Pagi ini dia ada meeting penting yang tidak bisa diundur. Karena itu dia harus mempercepat ke datangannya ke kantor.

Namun tanggapan dari Lila sangat berbeda. Wajah istrinya itu semakin masam terlihat. "Jagain anak sendiri aja nggak sabaran banget sih? Aku kan juga di dapur bukan santai-santai, tapi lagi beresin bekas makan kamu. Kalau kamu memang nggak mau jagain Aneska, ya kamu cuci piring dong abis makan." celetuk Lila kasar.

Perasaan kesal yang sejak kemarin ini didiamkan oleh Karim semakin meledak. Apalagi dengan kalimat Karim tadi, seakan-akan suaminya itu malas menjaga putrinya sendiri. Padahal kenyataannya tidak demikian.

"Kamu ngomong apa sih?"

"Aku ngomong kenyataan. Kalau memang kamu nggak suka jagain Aneska itu bilang. Biar aku kasih tahu kamu masih banyak kerjaan lain yang bisa kamu bantu." balas Lila dengan kedua manik mata berkaca-kaca.

Andalan. Batin Karim. Semua perempuan Karim rasa akan mengeluarkan senjata yang sama ketika sedang beradu argument. Pasti akan menyisipkan tangisan andalan khas mereka. Tetapi harusnya mereka tahu, laki-laki terkadang lelah melihat tangis air mata yang tidak bisa menyelesaikan masalah apapun.

"Terserah kamu mau ngomong apa. Aku mau berangkat," suara Karim tanpa ada satu kalimat pun yang Lila ucapkan.

Sebelum Karim keluar rumah, dia berhenti sejenak. Melirik ke arah Lila yang sudah bergabung dengan Aneska di atas kasur lantai yang tipis.

Tubuh Lila membelakanginya, namun Karim tahu pasti istrinya itu menangis hanya karena keributan kecil ini. Dalam hati ada niatan untuk menunda kepergiaannya demi membujuk Lila sejenak. Akan tetapi saat sekertarisnya menghubunginya melalui ponsel, Karim tahu dia telah terlambat dan harus segera pergi.

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang