30. Musuhmu adalah napsumu

7.4K 1.5K 143
                                    

Kini aku tahu bahwa pelajaran terbaik dimulai dari rasa sakit.

Kiki berusaha memisahkan Nada dengan Lila yang mulai saling tarik menarik. Kedua sahabatnya itu akhirnya memakai tindakan kekerasan karena kekesalan di hati masing-masing yang sulit sekali dibicarakan dengan kata-kata. Bahkan keduanya tidak merasa malu bila akan menjadi tontonan dari orang banyak.

"NADA..., LILA..., AKU MOHON BERHENTI." Teriak Kiki cukup kencang.

"Nggak!!! Memangnya siapa dia bisa merendahkan orang lain begitu aja." sahut Nada kencang.

"Nada. Dia bukan bermaksud merendahkan lo... "

"Bodo!!! Gue nggak peduli."

Dengan sekuat tenaganya, Nada menarik kuat rambut panjang Lila hingga perempuan itu menjerit kencang. Beberapa helai rambut hitamnya yang panjang nampak terlihat di sela-sela jemari tangan Nada.

Tawa puas terlihat di wajah Nada. "Tutup mulut aja lo nggak bisa. Apalagi tutup aurat lo." sindir Nada semakin pedas.

Kedua manik mata Lila memerah. Bukan hanya fisiknya yang tersakiti oleh Nada, namun hatinya pun terasa sakit.

Entah mengapa kini dia merasa seperti seorang teroris hanya karena dirinya belum mampu menutupi auratnya.

Memang Lila tahu bila dirinya masih jauh dari kata sempurna. Namun apa bisa seenaknya Nada mengomentari dirinya sekejam itu.

"TOLONGGGG..., " Teriak Kiki kencang.

Dari dalam rumah Bitha, perempuan itu terlihat kaget atas kelakuan sepupunya, Nada, dan juga Lila di tengah jalanan seperti sekarang ini.

Dengan terburu-buru Bitha berlari kencang. Rambutnya yang hitam dan panjang bahkan terlupa untuk dia tutupi.

Jujur saja Bitha begitu panik melihatnya. Dia sudah tidak bisa berpikir tenang. Karena fokusnya adalah bagaimana caranya memisahkan Lila dan Nada.

"Nadaaa...!!" bentak Bitha.

Perempuan itu mencoba menghalau kedua tangan Nada yang sejak tadi sibuk menarik rambut panjang Lila. "Nada..., istighfar. Jangan begini Nad, ya Tuhan. " serunya kencang.

"Minggir Kak Bitha. Perempuan kayak begini memang udah seharusnya mendapatkan balasannya. Bisa-bisa dia... "

"Nada!!! Tolong istighfar." ucap Bitha penuh permohonan. Dia memeluk tubuh Nada erat sampai tenaga yang Nada keluarkan melemah. "Tolong jangan seperti ini." sambungnya berbisik.

Kedua mata Bitha memerah, dia cukup sedih atas kekerasan yang dilakukan oleh sepupunya itu. Bitha tahu Nada mungkin tidak bisa mengkontrol kekesalannya. Akan tetapi haruskah dia sampai melukai orang lain?

"Gue nggak suka sama sikap dia, Kak Bitha. Gue nggak suka."

"Iya..., iya..., gue tahu lo nggak suka, Nad. Tapi nggak semua hal yang lo nggak suka bisa lo adili begitu aja. Kadang cara pandang dan penilaian orang itu beda-beda. Dan kita nggak bisa menyamaratakan itu."

"Terus gue yang salah gitu di sini?" tanya Nada tidak terima. Dia sempat melirik Lila yang tengah dirangkul oleh Kiki.

"Nada, ini bukan masalah siapa yang benar atau yang salah. Tapi cobalah untuk menerima segala masukan dari orang lain. Toh kalau kita dengarkan masukan dari orang lain, bukan berarti kita salah kan. Mungkin dengan cara seperti itu kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik." ucap Bitha menenangkan.

Dia memberikan kode kepada Kiki untuk membawa Lila menjauh dari Nada. Bitha tidak ingin Nada bersikap diluar kendali lagi hingga menambah kesakitan bagi orang lain.

Setelah tinggal mereka berdua, Bitha menatap Nada yang sedang menundukkan kepalanya. Bahu dari sepupunya itu bergetar sampai suara isak perlahan terdengar di telinga Bitha.

Tangan Bitha terangkat ke udara. Dia mengusap pipi Nada dengan lembut.

"Menangis setelah dinasihati memang sering kali terjadi. Karena hal tersebut terjadi setelah adanya pergejolakkan ego dan logika atas kebenaran yang ada dalam nasihat tersebut. Namun bukan berarti orang yang menangis tidak bisa menjadi lebih baik setelah dinasihati. Gue yakin semua orang pasti bisa lebih baik. Termasuk lo." ucap Bitha bijak.

Nada mengusap air matanya. Dia melirik Bitha yang tersenyum lebar kepadanya. "Tumben banget Kak Bitha bijak?"

"Gue nggak bijak Nad. Anggap aja semua yang gue bilang tadi semacam nasihat bukan hanya buat lo, tapi untuk gue juga." rangkul Bitha pada bahu Nada. "Ke rumah yuk. Gue nggak pakai kerudung nih."

"Ya Tuhan. Kak Bitha. Kalau Kak Barra lihat keadaan Kak Bitha begini, bisa marah dia."

"Nggak papa kalau dia marah. Yang penting lo udah nggak marah-marah lagi, Nad." godanya. "Mungkin bagi orang yang nggak kenal sama lo, dia akan membenci semua sikap liar lo ini. Tapi..., bila orang tersebut sudah mengenal bagaimana baiknya hati lo, dia nggak akan semudah itu buat ninggalin lo meskipun kekurangan masih melekat pada diri lo. Seperti yang Agam lakukan."

"Mas Agam memang terlalu baik."

***

Kiki mengusap bahu Lila yang masih terus saja menangis di sampingnya. Untung saja suami Lila sedang tidak berada di rumah, entah apa jadinya bila dia melihat keadaan Lila yang mengenaskan seperti ini.

"Maaf ya Lila," ucap Kiki.

"Maafin adikku, Nada. Tolong jangan benci sama dia. Aku tahu sikapnya memang keterlaluan tapi... Aku nggak mau kamu sampai menjauhinya. Orang-orang seperti itu tidak seharusnya kita jauhi. Dia butuh kita. Butuh kamu juga Lila. Karena tanpa sahabat, tanpa teman, manusia tidak mampu menjalani hidup di dunia ini."

Lila menggelengkan kepalanya. "Aku nggak papa kok, Mbak. Luka ini nggak ada artinya."

"Aku tahu kamu pasti kesal atau bahkan benci. Tapi...,"

"Nggak Mbak. Sama sekali aku nggak mau membencinya. Aku cuma kecewa sama diriku sendiri. Apalagi ditambah dengar kalimatnya Mbak Nada tadi. Kayaknya cuma aku aja yang nggak bisa menutupi aurat di sini. Sampai-sampai aku bertanya sama hatiku, apa Islam hanya ternilai dari aurat yang tertutup? Memang menutup aurat adalah sebuah kewajiban, namun bukan berarti bagi yang belum bisa menjalankannya ternilai begitu buruk." ungkapnya dengan perasaan sakit.

Kiki menatap wajah Lila yang terus saja menangis. Tangan perempuan itu gemetar ketakutan. Seperti dia baru saja melakukan sebuah kesalahan besar.

"Aku bukan pembunuh, Mbak. Aku bukan teroris, aku bukan perebut suami orang, tapi..., kenapa aku merasa paling buruk di komplek ini. Apalagi dibandingkan dengan kalian bertiga, aku yang paling nggak pantas dinilai."

"Hust, jangan ngomong begitu, Lila." peluk Kiki erat. "Semua orang pasti punya kekurangan. Aku, Kak Bitha, dan Nada, kami juga manusia biasa. Bukannya maksud untuk membandingkan, namun jangan kamu pikir yang sudah tertutup pasti lebih baik dari yang terbuka. Semua itu kembali ke pribadi masing-masing. Apalagi jaman sekarang ini, banyak sekali orang berperan seperti muslimah namun kelakuannya benar-benar naudzubillah min dzalik.  Jadi aku harap, kamu jangan cepat menyerah."

"Aku nggak menyerah, Mbak. Aku cuma takut. Takut membuat kalian malu karena berteman sama aku." ungkap Lila jujur.

Pikirannya kembali melayang ke hari dimana dirinya bertemu Zella dan perempuan itu begitu puas menghinanya hanya dari sebuah tatapan merendahkan.

Continue..
😎😎😎 hehhee.. Dia ribut..
Yah mau gimana lagi.. Kalo gak ribut gak oke..

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang