25. Awas jangan bohong

7.9K 1.4K 134
                                    

Aku hanya ingin memberitahumu satu hal, bila kau bahagia karena bisa bernostalgia dengan perasaan yang telah lama hilang semua itu hanyalah sebuah luka. Yang tak terlihat oleh mata namun sanggup melukai jiwa.

Pukul 9 pagi, Bitha terlihat sudah begitu rapi dan cantik. Perempuan itu nampak bergegas, jalan menuju rumah Kiki yang kebetulan berada di sebrang rumahnya.

Sudah dari beberapa hari yang lalu dia memang memberitahu Kiki bila sabtu ini dirinya akan menitipkan Abi pada Kiki. Karena ada sebuah acara yang mendesak, dan Barra sedang ada urusan di kantornya maka mau tidak mau Abi akan dikorbankan untuk sementara.

"Assalamu'alaikum, Ki." panggilnya di depan rumah Kiki. Sebelah tangan Bitha sibuk merapikan rambut Abi yang belum sempat dia sisir setelah memandikan putranya itu.

"Wa'alaikumsalam," Kiki tersenyum senang menyambutnya. "Udah mau jalan ya?"

"Iya nih kesiangan. Aku titip Abi ya sebentar. Nanti sebelum sore aku udah balik kok. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon aku ya, Ki."

"Tenang aja Kak Bitha. Mas Abi juga pasti suka bisa main sama Aiz di rumah."

"Ya udah kalau gitu. Mas Abi, Bunda pergi dulu ya. Jangan nakal sama tante Kiki. Nanti pulangnya Bunda beliin mainan buat Mas Abi kalau jadi anak baik. Gimana?"

Dengan sedikit ragu, Abi mengangguk. Bocah 3 tahun itu langsung masuk ke dalam rumah, tanpa mempedulikan Bitha yang menatapnya kecewa. Dia pikir putranya akan menangis untuk melarang dirinya pergi. Namun kenyataannya tidak.

"Aku pergi dulu ya, Ki. Titip Abi ya. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam," sambut Kiki.

Setelah melepas kepergian Bitha, ia kembali masuk ke dalam rumah. Mendapati Wahid yang menatap bingung sosok Abi sedang bermain dengan putranya di hari sabtu seperti sekarang ini.

"Kok tumben hari sabtu Abi ada di sini?" tanya Wahid dengan sebelah alis hitamnya terangkat.

"Iya. Orang tuanya lagi pada sibuk. Jadi sementara dia di sini dulu. Main sama Aiz. Lagi juga kan lumayan Aiz ada temannya. Nggak perlu keluar rumah lagi. Jadi nggak capek-capek ngawasinnya." jelas Kiki. Berjalan santai menuju dapur untuk melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda.

"Emang Barra ke mana? Ini hari sabtu loh. Kalau masih kerja keterlaluan banget itu orang. Cari uang sampai nggak kenal waktu begitu. Padahal yang dibutuhkan Abi kan nggak hanya uang." protes Wahid mengikuti Kiki di belakangnya.

"Ya mana aku tahu. Mungkin sabtu ini memang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal. Kamu nggak boleh suudzon sama sahabatmu sendiri. Apa yang kita lihat, tidak sebaiknya kita langsung komentari. Karena kamu kan nggak tahu apa alasannya lembur di hari sabtu. " bela Kiki.

Wahid menarik napasnya dalam. Tersenyum kecewa sambil memijat kepalanya. "Harusnya Barra tidak menciptakan cerita yang sama terhadap putranya sendiri. Aku, Barra dan Agam sama-sama terlahir dari keluarga yang hancur. Dan nggak seharusnya kami menurunkannya kepada anak-anak kami." keluhnya.

Kiki berbalik. Memandang Wahid yang menatapnya lesu. "Aku yakin Barra juga pasti nggak mau putranya merasakan hal yang sama kok. Tapi caramu dan caranya sudah pasti berbeda dalam melakukannya. Jadi yakinkan saja sahabatmu nggak seperti yang kamu bayangkan."

Perlahan Wahid mendekatinya. Memeluk erat Kiki sampai tubuh mungil istrinya itu tenggelam dalam pelukannya. "Suatu saat kalau aku sampai lupa akan keadaan, tolong terus sadarkan aku. Karena aku sejujurnya nggak bisa berjalan sendiri tanpa dirimu."

"Iya. Kita sama-sama saling mengingatkan,"

Saat Wahid melepaskan pelukannya, di samping mereka ada Abi menatap dirinya dan Kiki dengan tatapan menilai. Ada sedikit kecanggungan yang terjadi antara Kiki dan Wahid.

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang