12. Mulut tuh dijaga bukan cuma kemaluan

9.4K 1.8K 223
                                    

Layaknya hubungan pada umumnya, kita bertengkar bukan karena kita tidak saling mencintai. Namun baik kamu ataupun aku, sama-sama menyadari suatu saat kita akan merasa bosan jika hubungan ini berjalan begitu datar.

"Bagaimana?" tanya Wahid pelan setelah dua hari ini merasa tidak tega melihat wajah pucat Kiki.

Kiki menggeleng lemah, melepaskan pegangan tangan Wahid yang tadi menggenggamnya erat.

Masih jelas diingatannya ketika kemarin Wahid mengamuk karena tahu bila dia sedang hamil lagi. Laki-laki itu seperti begitu ketakutan atau bahkan tidak siap dititipkan amanah baru oleh Tuhan.

Lalu parahnya lagi, Kiki lah yang menjadi tempat pelampiasannya. Padahal tidak semua yang terjadi kini adalah kesalahan Kiki. Memangnya Kiki bisa seorang diri membuat ia hamil sendiri?

"Ki, please jangan seperti ini terus. Aku sudah pusing dengan pekerjaan di kantor. Lalu ditambah pusing atas kabar yang mendadak ini. Belum lagi kamu ikutan marah padaku. Aku benar-benar nggak siap, Ki."

Kiki tertawa sinis, "nggak siap? Nggak siap kenapa? Nggak siap kalau punya anak lagi?" tuding Kiki pedas.

Wahid memijat pelipisnya kuat. Melawan perempuan yang tengah emosi adalah sebuah pekerjaan yang sia-sia. Maka dari itu dia lebih memilih diam. Menemani istrinya itu tanpa suara sedikitpun.

"Kenapa diam?" tanya Kiki pedas.

"Aku rasa kamu memang masih butuh banyak istirahat. Benar kata Ayah Fatah, kondisi ibu hamil kadang sering tidak stabil. Termasuk dalam emosinya. Karena itu kita bicarakan nanti saja," putus Wahid cepat.

Melihat Wahid pergi menjauh, Kiki langsung menangis pilu. Kenapa susah sekali mengerti keinginan suaminya itu. Sejak sebelum mereka menikah sampai kini akan memiliki dua anak, Wahid masih sering kali memendam semua perasaannya sendiri.

Ketika Wahid berjalan keluar, ada Ibunya dengan Aiz nampak sibuk bermain di ruang keluarga. Keluarga besar yang sejak kemarin berdatangan, mulai sepi. Kini tinggal sang Ibu saja yang masih menginap di rumahnya ini.

"Kenapa lagi?" tanya Umi.

Wahid mendesah lelah. Dia tersenyum sekilas ketika Aiz tertawa memandangnya. Wahid sadar, putranya itu masih begitu kecil. Dan dengan bodohnya dia langsung membuat Kiki mengandung kembali.

"Pernikahan tanpa masalah itu tidak ada artinya. Kalau Ibu membandingkan masalahmu ini dengan masalah Ibu dulu, sungguh jauh berbeda. Dan jika Ibu melihat sikapmu sekarang dengan sikap Ayahmu, kalian berdua benar-benar serupa. Kadang kalian berdua bisa meluapkan semua masalah tanpa dipikirkan lebih dulu. Namun sering kali kalian menutupi segala perasaan di hati dan lebih memilih diam." ucap Umi pelan.

"Jangan menyamakan kami, Bu."

"Bukan maksud Ibu untuk menyamakan. Tetapi ikatan darah memang tidak bisa dibohongi. Sejauh apapun kamu pernah pergi. Sekuat apapun kamu mencoba mengelak. Dia tetap Ayahmu. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Begitupun yang seharusnya Kiki pahami. Mungkin kamu tidak seperti Agam, tidak seperti Barra, tidak seperti sepupumu yang lain. Karena harusnya dia tahu, jika laki-laki yang menikahinya adalah Rasyiqul Wahid. Putra ibu. Ibu berkata demikian bukan maksud Ibu memaksanya untuk mengerti dirimu. Namun jika dalam pernikahan tidak ada yang mau mengalah, kalian akan terjebak dalam jurang terdalam dan sulit untuk melihat keindahan lagi."

Wahid tersenyum sambil menunduk. Semua yang dikatakan Ibunya memang benar. Mungkin bila Kiki sulit untuk mengalah, maka harusnya dia yang melakukannya.

***

"Duh, Mas kok tumben nggak bawa terong?" suara Lila bertanya pada tukang sayur yang biasanya sering kali mampir di depan rumahnya.

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang