21. Bohong lagi, nggak capek?

8.3K 1.4K 149
                                    

Kamu bukanlah buku yang harus kubaca berulang kali untuk memahaminya. Karena bagiku, kamu cukup dicintai agar dirimu paham seperti apa laki-laki yang menikahimu selama ini.

Setelah kebingungan melanda diri Lila, dia kembali pulang dengan segudang tanda tanya di otaknya. Entah mengapa dia merasa bersalah pada Nada, padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun pagi ini.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, dia berjalan menuju rumahnya. Di depan rumah sudah ada Karim yang bersiap untuk pergi ke kantor. Pakaian suaminya itu cukup rapi. Pikir Lila, pasti Karim sedang ada meeting pagi ini.

"Udah mau berangkat, Paps?"

"Iya. Aku ada urusan. Pulang malam sepertinya. Nanti kamu jangan ke mana-mana, ya." perintah Karim.

Lila mengangguk setuju. Lalu menyerahkan Aneska pada suaminya itu untuk dipeluk dan dicium sebelum berangkat.

Sekilas bagi para tetangga yang melihat aksi Lila dan Karim, semua pada sepakat bila rumah tangga dua orang ini begitu harmonis. Namun siapa yang tahu hati mereka sedang berperan menutupi kesakitan masing-masing.

Seperti yang dilakukan Karim pagi ini, dia berusaha menutupi sesuatu hal dari Lila. Bukan karena dia tidak mau Lila tahu, melainkan dia tidak ingin Lila khawatir. Terlebih lagi ini menyangkut perempuan masa lalunya.

Namun entah sanggup berapa lama Karim bertahan menutupi semua ini. Dia seakan lupa bila beberapa hari kemarin pertengkarannya dengan Lila belum 100% sembuh. Dan kini dia sudah bermain api kembali.

Bisa saja jika Lila mengetahuinya terlambat, akan ada ledakan cukup hebat dalam rumah tangga mereka yang harus keduanya tanggung. Akan tetapi Karim sudah berjanji pada hatinya sendiri, ini adalah kali terakhir dia berperan menutupi luka di depan Lila. Istrinya sendiri.

"Aku pergi dulu ya, Ma."

"Kalau sempat nanti malam beliin aku biskuit dong Paps."

"Biskuit apaan?" tanya Karim curiga.

"Itu loh, biskuit yang gambar di kalengnya cuma ada Ibu dan anak-anaknya aja," tawa Lila memberikan penjelasan.

"Biskuit apaan itu? Emang ada biskuit janda?"

"Ih, Paps. Bukan biskuit janda. Kamu.mah ngaco aja. Udah pokoknya cari di supermarket yang kalengnya begitu,"

"Aku beliin tapi dimakan nggak? Kemarin kamu minta macem-macem nggak ada yang dimakan,"

"Dimakan kok...," ucap Lila cepat. "Tapi wafernya doang." cengirnya lebar.

Tidak ingin menanggapi tingkah aneh istrinya itu. Dia bergegas pergi ke kantor. Karena selanjutnya masih banyak yang perlu dia kerjakan mengenai masalah yang terjadi dikeluarga besarnya.

***

"Yang...," panggil Barra ketika ia bangun tidur tidak melihat istrinya, Bitha.

Sambil mengusap-usap sebelah matanya, Barra bergerak keluar dari kamar. Saat langkah kakinya tiba di ruang keluarga, di sana ada putranya Abi sedang menonton televisi dari jarak yang begitu dekat.

"Mas Abi, mundur dong duduknya." perintahnya yang tidak didengarkan.

Dalam satu tarikan napas, Barra mencoba memahaminya. Menurut Barra, putranya itu percis seperti dirinya dulu. Yang tidak pernah mendengarkan kata-kata orang tua. Sehingga menyimpulkan bila Ibu kandungnya tidak pernah menyayangi dirinya dengan tulus.

Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Andai saja Barra mau mendengarkan kata-kata Ibunya meski sedikit saja, mungkin penyesalan itu tidak akan pernah hadir.

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang