22. Maju untuk hidup yang lebih baik

7.7K 1.5K 113
                                    

Yang pergi tak selamanya hanya menjadi kenangan. Mungkin saja itu bisa dijadikan pelajaran dalam kehidupan. Dan yang bertahan tak selamanya akan menjadi masa depan. Karena mungkin saja itu membuatmu sadar, bila tak ada yang abadi dalam kehidupan.

Masalah dalam hidup selalu saja datang tanpa diminta. Menghampiri ketika dirimu belum sepenuhnya siap untuk bertahan atau berjuang. Apalagi kalau terlalu cepat mengambil keputusan dalam masalah tersebut, bisa jadi dirimu yang akan menyesal dikemudian hari.

Seperti itulah kurang lebih hal yang tengah Karim rasakan. Baru saja perkara masalah dalam rumah tangganya mulai membaik, ada saja kejadian di kantornya yang benar-benar membuatnya memutar otak agar tidak terjadi kesalahan untuk yang kesekian kalinya.

Tumbuh dan besar dalam keluarga angkatnya membuat Karim merasa berhutang budi kepada mereka. Apalagi baiknya sikap dari sang Mama angkatnya, semakin memaksa Karim untuk sebisa mungkin tidak menyakiti perempuan itu.

Namun sebagai manusia biasa, kadang Karim sering kali lupa. Bila media dalam pembunuhan yang sering kali tidak diduga adalah berasal dari kata-kata. Hingga sekarang ini dia merasa menyesal telah membentak perempuan yang sudah mengasuhnya sejak kecil.

"Mengapa begitu sulit bagimu untuk membantunya? Sedangkan kamu tahu sendiri sedalam apa perasaan cinta Mama padanya," isak perempuan paruh baya itu dihadapan Karim saat ini.

Sudah berulang kali sang Mama membujuknya untuk bisa mengabulkan permintaan laki-laki yang menjadi Ayah angkat dari Karim.

"Mama nggak mau lihat dia hancur untuk yang kesekian kalinya, Nak. Andai Mama bisa, pasti Mama yang akan membantunya. Tapi...,"

"Ma...," panggil Karim merasa sesak. "Kenapa harus Mama terus sih yang mikirin dia? Karim tahu kalian sudah mencoba berbaikan dengan masa lalu. Tapi, Ya Tuhan. Apa tidak bisa sekali saja hidup Mama tenang tanpa gangguan dari dia?"

Sang Mama mengusap lelehan air matanya di kedua pipinya, lalu memasang senyum ke arah Karim. "Suatu saat kamu akan mengerti. Bahagianya Mama hadir saat yakin dia juga merasa bahagia. Walaupun bahagia itu bukan dari Mama."

Karim menggelengkan kepalanya tak percaya. Ternyata cinta begitu egois. Mempertahankan rasa sakit, demi melihat orang yang dicinta bahagia.

"Apa Karim suatu saat akan seperti itu juga?" lirihnya.

"Bila bukan kamu yang merasakan. Mungkin Lila yang akan mengalaminya. Tetap bertahan, meski luka tak mungkin dapat disembuhkan."

***

Rasa kesal itu masih ada dalam pikiran Nada, kala melihat betapa bahagianya anak-anak dari Lila dan Kiki saling bermain bersama di siang hari yang cukup cerah ini.

Ada keraguan dalam diri Nada untuk ikut bergabung bersama mereka. Dia tidak yakin bila Kiki dan Lila akan menerimanya dengan baik. Maka dari itu, Nada melarang putranya, Zhafir, untuk bermain diluar rumah. Meski Zhafir menangis, memohon agar Nada mengijinkannya, Nada tetap pada keputusannya.

Dia tidak ingin hadir menjadi pengganggu bagi Kiki dan Lila. Padahal baik Kiki maupun Lila tidak ada sekalipun berpikir buruk seperti itu.

"Mbak, aku jadi nggak enak sama Mbak Nada. Gara-gara kemarin, dia jarang kelihatan."

"Kok pakai nggak enak? Nada tuh bukan tipe manusia seperti itu kok," bela Kiki. "Dia jarang kelihatan karena Mas Agam sedang tugas luar kota. Biasanya sih kalau Nada tidak menginap di rumah Ayahnya, dia memang akan jarang keluar rumah. Jadi kamu jangan berpikir begitu,"

Penjelasan Kiki membuat Lila sedikit tenang. Namun tetap saja, ada perasaan tidak enak muncul dalam hatinya.

"Oh begitu ya, Mbak. Tapi kalau terlihat dari tipe karakternya Mbak Nada, dia orang yang suka mempermasalahkan sesuatu deh." sindir Lila mengingat saat pertama kali Karim menghadiahkannya mobil baru.

"Ah, masa sih?" tawa Kiki menutupi mulutnya. "Nggak kok. Mungkin kamu bisa berkomentar begitu karena belum mengenalnya. Kalau aku...," gantung Kiki sejenak. Pikirannya melayang mengingat masa-masa awal persahabatan mereka hingga berakhir menjadi saudara. "Dulu aku pun sama kayak kamu kok. Selalu kesal dengan sikap Nada. Kalau ngomong nggak pernah dipikir dulu. Kalau sedang tatap orang lain, seakan sedang merendahkan orang itu. Padahal nggak. Sampai kini, kalau aku mengingat masa-masa itu aku ingin sekali tertawa. Aku terlalu mudah mengambil kesimpulan atas keadaan. Karena sejatinya sikap Nada tidak seperti itu. Aku akui, masih banyak caranya bersikap yang kurang baik. Tapi jujur saja, semua yang keluar dari mulutnya dalam memberikan nasihat kepada orang lain benar-benar kena di hati."

"Wah, kayaknya Mbak Kiki udah kenal Mbak Nada banget."

"Aku bukan mengenalnya. Tapi aku adalah bagian dalam kisah hidupnya."

Lila terpaku sejenak. Dia cukup menyesal baru mengenal Kiki sekarang ini. Andai saja, sudah cukup lama dia mengenal Kiki. Maka dia yakin, tampilan dirinya akan seperti mereka semua. Tertutup namun tetap indah.

"Kalau aku gimana, Mbak?" tanya Lila penasaran.

"Kamu ingin aku komentari?" tanya Kiki.

"Iya...,"

"Lila, apa hak yang kumiliki bisa dengan mudah mengomentarimu? Aku ini sahabatmu. Bukan pengguna jejaring sosial yang kerjaannya setiap hari mengomentari orang lain. Karena bagiku, sahabat sejati bukan ahli dalam mengomentari. Namun bisa sama-sama membawa diri untuk menjadi lebih baik lagi."

"Itu yang susah, Mbak. Kadang aku sering banget baper sama sikap orang lain ke aku. Kayak Mbak Nada kemarin. Aku langsung ngerasa diriku ada yang salah. Padahal mungkin bukan begitu kenyataannya," keluh Lila menundukkan kepalanya.

Kiki yang berada di sampingnya, merangkul tubuh Lila dengan sayang. "Memang banyak orang yang seperti itu. Lebih peka akan hal negatif. Padahal banyak sekali di sekitarnya hal positif yang sering diabaikan. Misalnya cinta kasih dari keluarganya sendiri. Termasuk dari sang suami."

Lagi dan lagi, Lila membungkam. Kenapa Kiki bisa sekali dalam menyindirnya. Sedangkan belum sekalipun dia menceritakan kepada Kiki tentang kehidupan rumah tangganya. Namun dari nasihatnya itu seakan Kiki mengerti akan kisah hidup Lila.

"Mbak, makan apa sih? Kok bisa hebat gini. Masih makan nasi kan setiap harinya?" tanya Lila penuh kagum.

Kiki tertawa geli. Tidak Nada, tidak juga Lila, semuanya selalu memberi warna dalam hidup Kiki. Dulu hidupnya selalu tenang, kini bersama mereka berdua hidupnya penuh dengan dinamika.

"Masih kok. Siang makan nasi kalau malam nyusuin Aiz,"

"Eh, Aiz doang? Bapaknya nggak?" kekeh Lila geli.

"Hust. Rahasia perusahaan. Nggak bisa dibongkar-bongkar," ucap Kiki dengan kedua pipi bersemu merah.

"Ugh, pantes Aiz cepat dapat adik. Gesit sih Bapaknya. Itulah enaknya punya suami kurus ya, diajak main kapan aja nggak kecapekan. Coba suamiku, belum apa-apa udah sesak duluan. Sesak karena dadanya penuh lemak. Bukan penuh cinta," keluh Lila begitu polos.

"Hahaha..., bisa aja kamu. Tapi mau seburuk apapun suamimu, tetap cinta kan?" goda Kiki menyenggol bahu Lila.

Lila tidak langsung menanggapinya. Sejenak dia diam. Menikmati hembusan angin siang yang cukup menyejukkan. Kedua manik matanya terfokus pada tawa Aneska yang begitu bahagia bermain bersama Aiz siang itu.

"Mungkin kalau bicara jujur, bukan cinta yang membuat kami tetap bersama. Tetapi rasa tak mau kehilangan yang membuat kami takut untuk berpisah sejak awal menikah." ungkap Lila jujur kala mengingat bagaimana dulu jalan hidup pernikahannya yang dimulai dengan sebuah peran semata.

***
Continue..
Ciee jadi sahabatan..
Ciee yang lagi ngambek..
Ciee yang lagi ada masalah..
Hahhaa.. Jujur, nulis ini tuh kayak nulis diary. Benar-benar tentang hidup banget. Nggak dibuat-buat. Alurnya pun mengalir gitu aja. Rasanya tuh cerita ini kayak kehidupan gue sama tetangga gue. Yang kadang nggak pernah akur. Kadang saling iri. Kadang tangis-tangisan bareng. Yah kurang lebih begitu. Nggak ada yang sempurna.

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang