Semoga dunia tidak membuat kita lupa, siapa yang sesungguhnya harus kita bahagiakan di akhirat.
"Kayaknya tetangga sebelah udah aman deh Mas." ucap Nada saat pagi hari mereka tengah menikmati waktu bersantai berdua.
Agam membalas perkataan istrinya dengan sebuah senyuman. Cangkir teh di tangannya yang terus saja menciptakan uap panas jauh lebih menarik perhatiannya dibanding mendengarkan gosip para tetangganya dari Nada.
"Mas. Kamu dengerin aku nggak sih?" tanya Nada memastikan.
"Dengerin kok."
"Terus kenapa diam aja? Komen apa kek gitu. Habisnya aku kesel banget Mas sama suaminya itu. Siapa namanya? Pak... Pak Karim ya? Kelihatan kok usianya jauh lebih tua dari kamu. Tapi kok tega ya ninggalin istrinya berdua sama anaknya yang masih kecil di rumah dalam keadaan begitu. Ih, kalau aku punya suami kayak gitu... "
"Hust, sayang. Jangan begitu. Kadang ketika kita mengomentari apa yang dilakukan orang lain, terlihat sangat berlebihan sikap yang mereka lakukan. Tapi entah, apa Mas bisa lebih sabar darinya jika kejadian tersebut menimpa rumah tangga kita. Seperti yang kukatakan dulu, menikahimu bukanlah akhir dari sebuah kebahagiaan. Melainkan langkah awal kita untuk membuat bahagia bersama. Setiap langkah yang kini kubuat, belum mengartikan bila aku telah sukses membuat kalian bahagia. Karena terkadang, aku tahu kamu masih menyimpan kecewa yang hanya kamu pendam sendiri di hati. Itulah kenapa aku takut, takut bila kejadian menakutkan itu menimpa rumah tangga kita, padahal pondasi kesabaranku masih sangat sedikit. Karena apa? Bisa jadi aku melakukan hal yang jauh lebih buruk dari pada apa yang kamu komentari tentang tetangga kita itu."
"Jadi sekarang Mas mau kita belajar sama-sama. Jangan sibuk mengomentari kejadian yang menimpa tetangga kita. Tapi Mas mau kita sibuk mengintropeksi diri sendiri. Seakan-akan kita berada di posisi seperti itu, maka langkah seperti apa yang harus kita pilih tanpa melukai orang lain. Ya meskipun Mas sama sekali tidak akan mau kejadian tersebut menimpa rumah tangga kita."
Nada menatap Agam begitu dalam. Sejak awal mengenal Agam dia telah salah menilai suaminya itu. Dan kini dia tidak mau salah lagi menilai apa yang Agam pikirkan. Karena ternyata sejauh apapun Agam pergi, yang ada dipikirannya hanya dirinya dan juga putra kecil mereka. Zafir.
"Jangan tatap Mas kayak gitu, Nada."
"Loh kenapa?" tanya Nada menahan senyumannya.
"Karena jika kamu terus melakukan itu, Mas akan berhenti mendoakanmu bahagia di akhirat kelak."
"Kok gitu? Memangnya ada yang salah sama tatapanku?" tanya Nada dengan muka kesalnya.
Agam terkekeh sejenak. Dia meletakkan cangkir tehnya di atas meja bulat yang berada di antara dirinya dan Nada.
Kemudian Agam membalas tatapan kesal Nada dengan sebuah senyuman yang berhasil membuat jantung Nada berdegup kencang.
"Karena jika kamu seperti itu terus, kamu berhasil membuat Mas sibuk dengan melakukan kebahagiaan bersamamu di dunia."
"Maksudnya?"
"Seperti ini... "
Sebuah tindakan yang jarang sekali Agam lakukan di depan umum, berhasil dilakukan laki-laki itu.
Nada benar-benar tidak siap menerima serangan dari bibir suaminya itu yang secara tiba-tiba mendarat di bibirnya.
Namun perlahan tapi pasti, Nada pun menikmatinya. Ia sangat-sangat bersyukur, di pagi yang seindah ini masih bisa menikmati kebersamaan serta membangun kebahagiaan bersama sahabat hidupnya. Agam Baihaqi.
***
Malam ini Lila merasa de javu saat mengenakan gaun mewah beserta sepatu kaca yang menunjang penampilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)
HumorRANDOM PRIVATE. DILARANG KERAS MENYADUR ISI, MENYALIN, MENGAMBIL INPIRASI. TIDAK PUNYA IDE LEBIH BAIK JANGAN MENULIS!!! DARI PADA MENGAMBIL IDE ORANG LAIN _____ Hal biasa yang sering kali terjadi dalam sebuah keluarga. Bila menurutmu berbohong bisa...